Sejarah Perkembangan Ilmu versus Filsafat
Perkembangan Dikotomis: Ilmu versus Filsafat
Jalinan kesatuan antara ilmu dengan filsafat dalam pengertian bahwa ilmu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat, tidaklah bertahan sampai pada masa sekarang. Peristiwa ini dapat disaksikan melalaui peta perkembangan ilmu yang semakain pesat sejaka masa Renaissance (abad ke 14-16) sebagai inspirator utama modernisme.Lahirnya zaman Renaissance di Barat disinyalir sebagai peristiwa sejarah yang paling monumental bagi terciptanya paradigma baru dalam bidang keilmuan dan dunia kefilsafatan. Dalam bidang keilmuan, zaman Renaissance melahirkan dominasi Copernican Revolution (Revolusi Kopernikan) yang telah menggeser otoritas pemahaman tentang alam versi Aristotelian yang telah sekian lama menguasai zaman Pertengahan. Sedangkan dalam dunia kefilsafatan, pengaruh Renaissance memunculkan dominasi Cartesian Revolution (Revolusi Kartesian) yang memberikan ekspresi filsafat kepada pandangan mekanis tentang alam sebagi tonggak filsafat Zaman modern.
Pada zaman Renaissance manusia seakan terlahir kembali dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan periode zaman-zaman sebelumnya. Manusia dipandang telah menemukan jati diri yang sebenarnya, munculnya liberalisme intelektual dan kemerdekaan humanisme, serta menjamurnya kemajuan ilmu-ilmu alam dengan lahirnya berbagai penemuan-penemuan spektakuler yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan ilmu-ilmu yang terjadi sejak masa Renaissance seiring dengan berkembangnya metode eksperimental ilmu-ilmu kealaman sebagai metode yang terbukti paling berhasil pada masa itu. Namun perkembangan dan keberhasilan tersebut pada gilirannya justru menimbulkan akses dikotomis antara ilmu dan filsafat yang di tandai oleh lepas-landasnya ilmu-ilmu cabang dari filsafat sebagai induknya. Fenomena ini diawali oleh ilmu-ilmu alam, terutama fisika, yang memisahkan dari filsafat, melalui tokoh-tokoh revolusioner seperti Copernicus, Galileo, Kepler, Versalinus, dan Newton. Sampai abad ke 18 fisika masih merupakan bagian dari filsafat, sebagai filsafat alam.Tetapi sejak pertengahan abad ke 19,fisika, juga kimia dan biologi pada umumnya dinamakan ilmu-ilmu kealaman dan bukan merupakan cabang-cabang dari filsafat alam.Karena sudah terlepas dari filsafat.
Perkembangan dikotomis tersebut selanjutnya diikuti oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik, yang juga memisahkan diri dari filsafat dan menjadi ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu cabang) yang berdiri sendiri.Pemisahan ini semakin memperbesar jurang perbedaan antara ilmu dan filsafat.Perbedaan yang paling menonjol antara ilmu dan filsafat, terutama sekali, terletak pada cirinya masing-masing.
Dewasa ini ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi,sosiologi, ilmu hukum dan ilmu politik semuanya secara pasti menjadi ilmu-ilmu empiris. Ciri empiris inilah yang merupakan ciri umum ilmu-ilmu tersebut yang membedakannya dari filsafat. Lewis juga menambahkan bahwa ciri empiris, sebagai ciri umum ilmu. Telah memperoleh legitimasi melalui kesepakatan para ilmuan dan para filsuf. Ciri empiris ini pada dasarnya merupakan ciri ilmu-ilmu kealaman yang bertumpu pada generalisasi-generalisasi yang berdasarkan pengamatan (observasi) dan eksperimentasi, kecendrungan semacam ini selanjutnya merambah wilayah ilmu-ilmu sosial maupun psikologi dipandang ilmiah (valid dan benar) sejauh memiliki ciri empiris tersebut alias bercirikan model penyelidikan ilmu-ilmu alam.
Pemaksaan model pendekatan empiris dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora (ilmu-ilmu human) kelihatannya lebih didasarkan pada aspek historis keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam mendekati dan menguasai alam relatif secara memuaskan sebagaimana yang terjadi sejak masaRenaissance. Di sisi lain pendekatan empiris dinilai lebih objektif dalam mendeskripsikan fakta-fakta tentang manusia (sebagai objek) sebagaimana halnya dalam menjelaskan (eksplanasi) fenomena alam. Meskipun Wilhelm Dilthey secara tegas dan terang-terangan menolak pemaksaan metode eksplanasi (explanation atau erklaeren) untuk ilmu-ilmu kemanusian (Geisteswissenschaften) dan menawarkan metode verstehen (understanding) sebagai gantinya, tetapi sampai masa sekarang pemaksaan tersebut secara umum masih berlaku dalam dunia keilmuan.
Konsenkuensi dari penekanan ciri empiris ilmu juga berbias pada aspek dikotomis filsafat dan ilmu menjadi semakin meluas. Dikotomi ilmu dan filsafat tidak hanya terletak pada perbedaan ciri umum (ciri umum ilmu: empiris versus ciri umum filsafat: spekulatif atau reflektif). Tetapi juga pada perbedaan metodologi (metode ilmiah versus metode filsafat).Azas pembuktian (pembuktian ilmiah versus pembuktian filosofis) sampai pada persoalan tentang kebenaran (kebenaran ilmiah versus kebenaran filosofis) dan seterusnya.
Melalui ciri empiris itu pula ilmu telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan seperti peningkatan produktivitas. Efektivitas dan efisiensi kinerja manusia, serta menawarkan berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia yang semakin dapat dirasakan pada masa sekarang. Kemajuan-kemajuan tersebut juga tercermin dari keunggulan-keunggulan produksinya dengan terciptanya teknologi-teknologi mutakhir, informatika, industrialisasi, komputerisasi dan sebagainya yang dewasa ini semakin tersosialisasi. Kendatipun semua itu tidak terlepas dari krirtik dan kelemahan-kelemahan karena efek negatif yang ditimbulkan.
Filsafat tidak bercirikan empiris (observatif-eksperimental) sebagaimana halnya ilmu, sehingga tidak memproduksi semua kemajuan tersebut, kecuali sebatas meletakkan dasar-dasar fundamental bagi ilmu-ilmu. Maka tidaklah mengherankan jika muncul berbagai kritik dan sikap ironis dari kalangan awam maupun kelompok ilmuan tertentu terhadap filsafat. Filsafat dinilai tidak pernah maju atau semakin tertinggal dibandingkan ilmu, sementara ilmu dikukuhkan sebagai primadona yang dipandang mampu mewujudkan berbagai harapan dan cita-cita manusia.
Otoritas ilmu bukan saja telah menggeser kedudukan filsafat, atau menjauhkan diri dari filsafat lantaran filsafat hanya dinilai berhaluan spekulatif alias tidak empiris, atau memiliki kecendrungan yang kuat kearah pemikiran metafisik. Lebih dari itu, otoritasilmu dewasa ini ini kelihatannya tampil sebagai “imperium” baru yang diperkokoh oleh legitimasi-legitimasi kultural, politik dan ideologis manusia. Jika ini yang terjadi, jurang dikotomis antara ilmu dan filsafat semakin memuncak dan berbias pada kontroversi ilmu dan filsafat yang lebih ekstrim sebagaimana yang terlintas didalam keprihatinan Bertrand Russels. Menurutnya “antara teologi dan ilmu terletak suatu daerah tak bertuan, daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu. Daerah tak bertuan ini adalah Filsafat”.