Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan

Ruang Blog Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Filsafat Yunani Kuno merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).Lebih lanjut Nuchelmans (1982) mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Menurut Van Peursen (1985) dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Koento Wibisono (1999) menjelaskan bahwa terdapat suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur.Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi.Hal tersebut sesuai seperti yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, manusia dapat berpendapat bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Pada dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.

Paul Edward (Anton Bakker, 38:1994) berpendapat bahwa kajian yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu. Dari ketiga landasan tersebut bila dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas.

Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria. Sedangkan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.

Ada banyak hal yang menjadi titik temu antara filsafat dengan berbagai ilmu pengetahuan. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat ilmu telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan berbagai ilmu pengetahuan. Banyak diantara filsuf terkenal yang telah memberikan kontribusinya kepada ilmu pengetahuan. Misalnya Leibniz ikut serta dalam penemuan “hitung differensial”. Kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya juga menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, serta untuk mengetahui kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.

Ilmu membekali filsafat ilmu dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat ilmu. Tiap filosof dari suatu periode lebih condong untuk merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat dengan menghilangkan ide-ide yang tidak disukai dengan pengetahuan ilmiah.

Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini, kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong manusia untuk menengok kembali ide-ide dan interpretasi dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain. Misalnya, konsep evolusi mendorong manusia untuk meninjau kembali pemikiran manusia. Kontribusi yang lebih jauh yang diberikan filsafat ilmu terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik  tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai.

Pertentangan antara ilmu dengan filsafat pada umumnya menunjukkan pada kecondongan atau titik penekanan dan bukan pada penekanan yang mutlak. Ilmu-ilmu tertentu menyeliki bidang-bidang yang terbatas dan mencoba melayani seluruh manusia. Filsafat lebih bersifat inklusif atau tidak eksklusif (Ismaun, 43:2001). Filsafat berusaha untuk memasukan dalam kumpulan pengetahuan yang bersifat umum, untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia pada umumnya. Filsafat berusaha untuk mendapatkan pandangan yang slebih komprehensif tentang benda-benda. Jika ilmu dalam pendekatannya lebih analitik, maka filsafat lebih sintetik dan sinoptik dalam menghadapi sifat-sifat dan kualitas kehidupan secara keseluruhan. Ilmu berusaha untuk menganalisis seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya serta menganalisis seluruh anggotanya. Filsafat berusaha mengembangkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan menemukan arti hakiki benda-benda. Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat lebih mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga pengalaman.

Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objeknya masing-masing. Orang lebih menekankan pentingnya deskripsi, hukum-hukum, fenomena dan hubungan sebab musabab. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan antar fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi, sedangkan filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakekat kebenaran.

Perbedaan antara ilmu dan filsafat dalam bagian besar adalah perbedaan derajat dan penekanan. Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif.  Sementara filsafat bersifat radikal dan subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan penelitian, selama objeknya bisa diindera, dianalisis dan dieksperimen manakala objeknya sudah dapat diindera, dianalisis dan dieksperimen, maka berhentilah ilmu sampai di situ. Sementara filsafat justru mulai bekerja ketika ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang suatu objek. Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu tidak penting bagi filsafat, justru filsafat pun bekerja dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu. Filosof maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat gambaran yang lebih luas, jika mereka saling memahami dan menghargai disiplin ilmu masing-masing.

Cara mengatasi permasalahan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kunto Wibisono dkk (1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.Francis Bacon dalam The Liang Gie (1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Koento Wibisono dkk (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler dalam The Liang Gie (1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu.Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman dalam Koento Wibisono (1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Hubungan antara ilmu dengan filsafat dapat dijelaskan dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, menurut Will Durant dalam Jujun S. Suriasumantri (1982:22). Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.