Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

PENTINGNYA INTEGRITAS BAGI PENYELENGGARA YANG AMANAT DAN BERTANGGUNG JAWAB

MAKALAH PEND. INTERGRITAS AK. 

PENTINGNYA INTEGRITAS BAGI PENYELENGGARA 
YANG AMANAT DAN BERTANGGUNG JAWAB 

INSTITUTE ILMU AL-QUR’AN JANNATU ADNIN 
KENDARI 
2014/2015 


KATA PENGANTAR
              Puji syukur selalu dan senang tiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PENTINGNYA INTEGRITAS BAGI PENYELENGGARA YANG AMANAT DAN BERTANGGUNG JAWAB” saya berusaha dengan penuh kesabaran dan keuletan untuk dapat memaksimalkan tugas ini.
Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin. Akan tetapi kami menyadari makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi memperbaiki makalah ini nantinya.
            Semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua, dalam meningkatkan proses pembelajaran dalam mata kuliah “PEND. INTEGRITAS ANTI KORUPSI”.

                                                                          
                                                                                                KENDARI, 10 Mei 2014
   
                                                                                                            PENULIS



BAB I
                                                                   Pendahuluan

A.                 Latar Belakang
Manusia menurut Nurcholis Madjid memang merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun dari perpaduan dua unsur, yaitu segenggam tanah bumi, dan ruh Allah. Maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia. Al-Quran sendiri juga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sempurna. Banyak sekali kelebihan yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan melestarikan bumi. Seperti yang tertuang dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 30 yang artinya “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dan banyak pemimpin di Indonesia ini yang tidak bertanggung jawab. Misalnya pada saat kampanye mereka mengembor-ngemborkan akan memberantas korupsi. Tapi setelah mereka terpilih, janji-janji mereka itu terlupa dan tidak terealisasikan. Tapi disisi lain, tidak semua pemimpin di negeri ini yang mempunyai integritas yang rendah, sekarang banyak juga pemimpin yang peduli akan penderitaan rakyatnya dan bertanggung jawab akan janji-janji yang dibuatnya.

B.                 Rumusan masalah
a.       Apa itu integritas?
b.      Bagaimana Pemimpin yang berintegritas moral?
c.       Bagaimana Pentingnya integritas moral bagi seorang pemimpin?
d.      Bagaimana Pemimpin Dalam Prespek Islam?
e.       Bagaimana Hakikat Seorang Pemimpin Dalam Islam?
f.       Bagaimana hubungan antara cita dan fakta yang dilakukan oleh pemimpin di jaman sekarang?



BAB II
Pembahasan

A.                Pengertian integritas
Kata integritas dalam bahasa Latin adalah "integrate", artinya komplit, utuh dan sempurna (tidak ada cacat).  Integritas adalah tanpa kedok, bertindak sesuai dengan yang diucapkan, konsisten antara iman dan perbuatan, antara sikap dan tindakan. Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain “memiliki integritas” sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Sedangkan menurut  kamus besar bahasa Indonesia,  integritas dan mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran
Sedangkan secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak) Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu  Moralitas  adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif.

B.                 Pemimpin yang berintegritas moral
Pemimpin yang berintegritas moral adalah pemimpin yang tanpa kedok, yang bertindak sesuai dengan ucapan, sama di depan dan di belakang publik, konsisten antara apa yang di imani dan kelakuannya, antara sikap dan tindakan,antara nilai hidup yang dijalani, tanpa kompromi, pemimpin yang matang dan berintegritas berfokus untuk mencapai tujuan Allah.  Kepemimpinan yang dibangun atas kekuatan berpikir dengan kebiasaan yang produktif, yang dilandasi oleh kekuatan moral, akan menjadikan pemimpin tersebut memiliki “integritas” untuk bersikap dan berperilaku yang baik sehingga ia mampu memberikan keteladanan dan juga mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan. Perubahan yang terkait dengan proses berpikir, pemahaman dan berperilaku dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.
Jadi kepemimpinan yang memiliki integritas akan menyadari dengan baik bahwa rimba hukum kadang bersifat absurd, namun itu tidak berarti bahwa dia akan mempergunakan hal tersebut dengan dalih kekuasaan, karena keyakinan yang dianutnya akan menolak keikut sertaannya dalam persaingan yang tidak sehat. Walaupun hal tersebut merupakan tugas yang harus di lakukannya.
Dalam buku pentingnya, Critique of Pure Reason, ide-ide moral Kant terfokus pada sebuah pertanyaan ‘Apa yang harusnya saya lakukan?’ Untuk menjawab hal ini, Kant menggunakan metode pemeriksaan atas status penilaian etis (ethical judgment). Dengan metode tersebut, Kant menyimpulkan bahwa apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan mesti didasarkan pada suatu hukum umum yang dapat diterapkan di semua lapisan masyarakat.
Dengan perkataan lain, apa yang harus kita lakukan, dan dengan itu kita dapat disebut bermoral, harus dipertimbangkan dari ‘apa yang akan terjadi bila setiap orang melakukan apa yang kita lakukan’. Inilah prinsip ‘perintah kategoris’, yakni prinsip dasar moralitas yang akan memampukan manusia (dengan menggunakan akal) untuk menyelesaikan permasalahan moral..
Oleh karena itu, apabila pemimpin memerintah untuk kepentingan (kelompok) sendiri, ataupun berbuat sesuatu yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan, maka kita dapat memberi label mereka sebagai pemimpin yang tidak bermoral. Seperti model ‘perintah kategoris’-nya Kant, apa jadinya jika semua pemimpin koruptif, dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri?
Melalui etika Kantian, ukuran integritas moral dan kebaikan seorang pemimpin, ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin tersebut dikaitkan dengan kebaikan intrinsik dan kesesuaian pada ekspektasi rakyat. Model etika Kantian sejatinya dapat digunakan sebagai ukuran integritas moral para pemimpin dan penguasa di negeri kita.
C.                 Pentingnya integritas moral bagi seorang pemimpin
Dari pengalaman sejarah kita yang masih pendek ini, mungkin, integritas moral inilah satu-satunya kualitas utama yang paling dirasakan ‘tidak-signifikan-ada’ dalam setiap jenjang kehidupan politik kita. Realitas ini dapat dilihat dari pelbagai keluhan masyarakat akan maraknya tingkah laku yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan pemimpin.
Maju mundurnya bangsa banyak ditentukan oleh para pemimpin. Sebab pada hakekatnya pemimpin itu memiliki tanggungjawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat. Tanggungjawab inilah yang pada dasarnya terkait dengan moral kepemimpinan. Kehidupan keseharianpun juga tidak lepas dari bagaimana seseorang melakukan kepemimpinan, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.
Mengapa Integritas begitu amat penting sebab integritas memberikan Kuasa kepada kata-kata kita, memberikan kekuatan bagi rencana-rencana kita dan memberikan daya ( force ) bagi tindakkan kita.
Profesionalitas adalah integritas yang teruji, abdi Negara yang professional adalah abdi Negara yang memiliki integritas yang teruji, tidak suka menggunakan aji mumpung memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, apalagi kesempatan dalam tanda petik yang selalu bermakna negative. ini, karakter yang demikian bisa dikatakan satu berbanding seribu, inilah biang kerok kenapa pemerintah kita kurang profesional karena betapa susahnya mencari aparat pemerintah yang benar-benar memiliki integritas yang teruji. Yang banyak adalah aparat pemerintah yang suka mencuri-curi kesempatan. Kesempatan sudah ditutup rapat rapat tetapi dasar mentalnya rendah, ada saja celah-celah untuk melakukan penyimpangan. Hal ini bisa terjadi lantaran semua orang suka bermain kongkalikong, atasan dengan bawahan sama- melakukan penyimpangan.
D.                Pemimpin dalam prespektif Islam
            Wacana kepemimpinan dalam Islam memiliki banyak pandangan dan pendapat. Hal ini diawali pasca kepergian Rasulullah Muhammad wafat. Masyarakat Islam telah terbagi- bagi kedalam banyak kelompok  atau golongan. Kiranya inilah yang menyebabkan banyak  perbedaan pendapat meskipun sumber rujukan mereka sama, yakni Al Qur’an dan Al Hadits. Sejarah telah mencatat setelah kepergian Rasulullah, kemudian tampuk kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah, mulai dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah dan Bani Abbasiyah. Setelah kepemimpinan Abbasiyah runtuh, kepemimpinan Islam mulai terpecah-pecah kedalam kesultanan-kesultanan kecil. Itulah sepenggal singkat tentang kepemimpinan dalam Islam. Meskipun begitu dalam banyak ayat dan hadits diterangkan bahwa setiap diri pribadi juga merupakan pemimpin baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu ayat yangmenerangkan hal tersebut adalah :
“ Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu. Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksaan-Nya,dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 6:165)
Makna hakiki kepemimpinan dalam islam adalah untuk mewujudkan khalifah di muka bumi, demi terwujudnya kebaikan dan reformasi. Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad hanya meminta syarat agar seorang pemimpin bisa berlaku adil. Hal ini misalnya diceritakan oleh As Syaikhani yangmeriwayatkan hadis tentang tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindunganAllah pada hari pembalasan (akhirat). Dari tujuh golongan itu, pemimpin yang adilditempatkan atau disebut pertama kali oleh Nabi.Mungkin saja penempatan itu hanya sekedar redaksi perkataan dari Nabi.
Hadist yang lain, yang mengatakan bahwa setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya, harus diterjemahkan pula sebagai sebuah ancaman serius dari Allah dan Rasul terhadap pemimpin yang tidak berlaku adil. Sampai pada titik ini dapat  dimengerti mengapa kedudukan pemimpin lalu menjadi istimewa. Dia dijanjikan akan masuk surga pertama kali, sekaligus diancam akan menjadi penghuni neraka juga dalamrombongan awal. Adil sebagai pemimpin tak harus dipahami hanya dalam soal memutus sebuah perkara. Namun adil yang diminta kepada pemimpin adalah juga mencakup aspek kesanggupanuntuk selalu menjaga amanah (jujur), tidak khianat, mampu melindungi yang dipimpin (tidak otoriter) dan perilakunya bisa menjadi contoh (memberi inspirasi). Termasuk adil, jika seorang pemimpin mengakui dirinya tak bisa memimpin lagi dan memberikesempatan kepada yang ahli untuk menggantikkannya. Bukankah imam shalat yangkentut harus membatalkan shalatnya dengan mundur selangkah agar diganti makmunyang berdiri di belakangnya? Syarat-syarat itu niscaya tak akan bisa dipenuhi oleh pemimpin manapun melainkanmereka yang berpegang teguh kepada ajaran Allah dan Rasulnya.
Bercermin padaakhlaq Nabi, seorang pemimpin akan bisa berbuat adil jika paling tidak, mewarisi empatsifat Nabi. Empat sifat Nabi itu adalah:
1.      Amanah (tidak korup),
2.      Fathanah (cerdas),
3.      Tabligh (mampu berdiplomasi), dan
4.      Siddiq (bnar, dipercaya atau jujur).

E.                  Hakikat seorang pemimpin dalam islam
 Hakikat kepemimpinan dalam Islam meliputi :
1.      Tanggung Jawab, Bukan Keistimewaan. Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia harus mampu mempertanggungjawabkannya kepada manusia dan Allah Swt. Umar bin Abdul Aziz kerap menyamar menjadi rakyat biasa untuk menyelami kehidupan rakyatnya. Pernah menjadi kuli panggul dan tukang angkut barang  di pasar sebagai wujud tanggungjawabnya untuk peduli dengan rakyat.
Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR. Bukhari dan Muslim)

2.      Pengorbanan, Bukan Fasilitas. Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya.
3.      Kerja Keras, Bukan Santai. Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan.
4.      Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang. Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na’im).
Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).
5.      Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor. Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.

F.                 Cita dan fakta yang dilakukan pemimpin dijaman sekarang
Ketika kekecewaan terhadap situasi kekinian memuncak, orang biasanya berpaling ke masa lalu yang diasumsi lebih baik. Dalam konteks kesejahteraan, publik tak canggung melongok kembali ke masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998), karena rezim ini dianggap lebih kompeten memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan dan sandang, dibandingkan pemerintahan era reformasi. Itu artinya, dalam konteks Indonesia, gugatan terhadap kepemimpinan nasional dewasa ini tentu tak hanya karena dominannya wajah-wajah lama di panggung kekuasaan, tetapi juga karena masih banyaknya constraint (halangan) bagi munculnya lapisan muda dalam kepemimpinan negara (pusat dan daerah). Untuk kontestasi pemilihan presiden 2009, misalnya, sejumlah analisis memprediksi, kecil sekali peluang tampilnya “rising star”, termasuk dari kaum muda. Kondisi sekarang memang bisa disebut krisis kepemimpinan. Dalam lapangan politik, krisis kepemimpinan berarti langkanya atau pun tiadanya kepemimpinan politik yang bisa memenuhi harapan banyak orang dalam hal visi dan komitmen pada visi itu, kompetensi koordinatif, manajerial, organisasi, memberi inspirasi dan motivasi, pengetahuan dan kemampuan intelektual pada umumnya, integritas, kepribadian dan gaya hidup, termasuk keterbukaan, kesederhanaan, kejujuran, kemampuan dan kesediaan untuk mendengarkan dan jika perlu menerima kritik dan pendapat orang lain, kesediaan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Krisis kepemimpinan juga berarti sulitnya rakyat menentukan pilihan atas seorang pemimpin. Ini bisa disebabkan tidak hanya langkanya tokoh pemimpin, tetapi juga karena faktor rakyat sendiri yang kesulitan dan tidak cermat memilih pemimpin. Dari krisis kepemimpinan inilah yang membuktikan bahwa cita-cita dari kepemimpinan yang berintegritas sangatlah jauh dari fakta yang ada. Demo yang dilakukan oleh para mahasiswa ataupun para buruh yang kerap terjadi belakangan ini menjadi bukti bahwa rakyat kecewa dengan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin sekarang. Hal ini jauh sekali dari cita-cita para rakyat yang mengaharapkan pemimpin yang bijaksana dan berintegritas moral. Kebanyakan dari pemimpin sekarang yang hanya mengumbar janji semata dan ketika dia telah diangkat dan menang, mereka melupakan janji-janjinya yang diumbar ketika mereka masih berkampanye. Jelas saja hal itu membuat kecewa para rakyat yang telah percaya dan menunggu realisasi janji-janji para pemimpinnya.
Realitas politik Indonesia sekarang, seperti dikatakan sejarawan senior Taufik Abdullah (2008) didominasi elit politik, bukan pemimpin. Secara psikologis, pemimpin dekat dengan rakyat yang dipimpin. Pemimpin bukan penguasa, melainkan sosok teladan yang memiliki visi jangka panjang untuk kepentingan rakyat, bangsa, negara dan kemanusiaan. Mereka tidak hanya memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, tetapi juga sosok patriot dan negarawan. Sementara elit politik terkesan “disconneted“ dengan rakyat. Visi mereka terkait pergumulan kekuasaan untuk memenangkan kepentingan sempit dan jangka pendek. Memperhatikan realitas krisis sekarang, bangsa ini memang sangat membutuhkan lebih banyak pemimpin daripada elit politik, baik untuk konteks kepemimpinan nasional maupun lokal. Ini didasari fakta, krisis multidimensi terjadi di seluruh penjuru negeri.. Di sejumlah daerah, bahkan tokoh yang berani mengungkap “bau busuk” di internal lembaganya (whistle blower), seperti dalam kasus korupsi DPRD Sumbar tahun 2003, justru dari seorang politisi senior. Padahal, kira-kira seperempat dari anggota dewan setempat saat itu diisi kalangan muda, bahkan sebagian ikut gerakan reformasi 1998.



BAB III
Penutup
A.                Kesimpulan
Bahwa integritas moral pemimpin adalah pemimpin yang tanpa kedok, yang bertindak sesuai dengan ucapan, sama di depan dan di belakang publik, konsisten antara apa yang di imani dan kelakuannya, antara sikap dan tindakan, antara nilai hidup yang dijalani, tanpa kompromi, pemimpin yang matang dan berintegritas berfokus untuk mencapai tujuan Allah. Dan integritas ini sangatlah menentukan perilaku dan tindakan yang dilakukan dan diambil oleh pemimpin. Sedangkan fakta yang ada dilapangan sekarang tentang cita-cita seorang pemimpin yang berintegritas moral sangatlah jauh dari kenyataan. Contohnya pemimpin sekrang banyak yang hanya mengumbar janji-janji semata, tapi tidak dapat merealisasikan janji yang telah dibuat. Untuk menjadi seorang pemimpin yang bertintegritas moral harus memiliki visi dan misi, yang  dapat diartikulasikan dengan jelas dan dengan penuh tanggung jawab.
B.                  Saran
Sebagai generasi muda kita hendaknya belajar menjadi seorang pemimpin yang berintegritas moral. Dasar menjadi seorang pemimpin yang berintegrtitas moral adalah kejujuran. Jadi hendaknya kita sebagai manusia haruslah menjadi manusia yang jujur dalam mengerjakan segala hal dan dalam bertindak. Karena kita sebagai generasi muda adalah pemimpin di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurcholish.200.Islam Doktrin dan Peradaban.Jakarta:Paramadina.
Jhon M. Echols dan Hassan Syadilly.1993.Kamus Inggris Indonesia.Pontianak : Gajah Mada, University Press.
Bagus lorens.1996. Kamus Filsafat.jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mahdi, Jamal.2001.menjadi pemimpin yang efektif &berpengaruh.Bandung : Syamil.
Djiwandono, Soedjati.2002.”Krisis Kepemimpinan”.Jakarta : AIPI.
Riza Sihbudi et al (eds).2002.Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta: AIPI.
C.Maxwell, John.2003.the right to lead.Jakarta : interaksara.
http://berkarya.um.ac.id/?p=5522 http://sma-adhi-luhur.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49:integritas-seorang-pemimpin&catid=36:artikel&Itemid=75 http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/pengertian-pemimpin-dalam-bahasa.html https://indrasetiawan17.wordpress.com/2011/08/02/definisi-integritas-dan-pengertian-integritas-indolibrary/ http://berbagiberkat.blogspot.com/2007/09/integritas.html http://heilraff.blogspot.com/2008/02/integritas-kepemimpinan.html http://agnessekar.wordpress.com/2009/08/08/mengapa-integritas-itu-penting-bagi-seorang-pemimpin/ http://almudarris.wordpress.com/2009/10/20/kepemimpinan-dalam-islam/