Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

RUU KUHP dan Kebebasan Pers RH Siregar

RUU KUHP dan Kebebasan Pers
RH Siregar 

MENTERI Hukum dan HAM, Dr Hamid Awaluddin, terkesan sangat yakin bahwa Rancangan Undang- Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) nasional yang dihasilkan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Depkum dan HAM tahun 2004 sudah sempurna dan siap disampaikan ke DPR untuk dibahas lebih lanjut. 

Menanggapi kritik yang dilancarkan, mantan anggota KPU ini menegaskan, orang boleh memiliki pandangan berbeda, tetapi naskah yang ada sekarang sudah selesai. Kalau masih ada masukan supaya disampaikan saat pembahasan di DPR, demikian ditandaskan. 
Memang kalau diteliti, naskah yang dihasilkan tahun 2004 ini sangat berbeda dengan naskah yang dihasilkan tahun 1999. Seperti diketahui, tim yang menghasilkan RUU KUHP 1999 diketuai Prof Mardjono Reksodiputra, dan RUU KUHP 2004 oleh Prof Muladi. 

Perbedaan yang sangat menonjol ialah bahwa penyusun naskah 2004 terkesan sangat berambisi melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana. Menurut penyusun RUU, kodifikasi dan unifikasi dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. 
Akan tetapi dalil yang mengatakan tujuan kodifikasi dan unifikasi hukum bertujuan menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, perlu dipertanyakan. Sebab kalau memang demikian halnya, apakah negara-negara yang tidak mengenal kodifikasi di bidang hukum tidak berhasil menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum? 
Ambil contoh negara-negara Anglo-Saxon yang tidak menerapkan kodifikasi seperti halnya sistim hukum Eropa Kontinental. Apakah negara-negara itu tidak berhasil menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum? 
Ternyata tanpa kodifikasi pun, banyak negara berhasil menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. 

Kolaborasi 
Dengan kenyataan itu kita hendak mengatakan bahwa penciptaan dan penegakan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum tidak hanya monopoli negara-negara yang menerapkan kodifikasi berdasarkan sistim hukum Eropa Kontinental. 

Dengan kata lain, negara-negara Anglo-Saxon yang didasarkan pada common law dan tidak mengenal kodifikasi juga mampu menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. 
Oleh karena itu dipertanyakan, apa dasar pertimbangan utama penyusun RUU KUHP ini begitu ambisius melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana. Lagi pula dalam kenyataannya, penyusunan perundang-undangan nasional beberapa dekade terakhir, tidak lagi sepenuhnya taat asas pada sistem kodifikasi. Sebab dalam pembuatan perundang-undangan sudah dicampuradukkan beberapa rezim hukum ke dalam sebuah UU. 
Sebagai contoh UU Pers (UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers). Prof Dr Ahmad M Ramli, Staf Ahli Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Bidang Hukum mengatakan, dewasa ini telah terjadi kolaborasi rezim-rezim konvensional ke dalam satu rezim hukum baru. 

Seperti UU Pers yang me- rupakan rezim hukum media (media law) me- ngolaborasi hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum acara, HAKI, cyber law dan lain-lain. 
Tegasnya, banyak negara telah meninggalkan sistim kodifikasi. Sejarah kodifikasi itu sendiri memang sudah ada sejak sebelum Masehi. Di negara-negara yang menganut common law, juga ada upaya melakukan kodifikasi, seperti di Inggris dan Amerika Serikat. 

Namun, upaya itu selalu mengalami kegagalan akibat perbedaan hakiki antara sistim hukum Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon. Begitu sulitnya sehingga ada pendapat yang mengatakan, rasanya merupakan suatu utopia untuk menghasilkan suatu kodifikasi bersifat komprehensif yang mampu mengatur seluruh dunia. 
Tidak Konsisten 

Lagi pula mengingat kondisi objektif negara kita sebagai negara sedang berkembang, penerapan sistim kodifikasi dan unifikasi hukum pidana ini perlu dipertimbangkan secara matang. Tidak lain karena sebagai negara sedang berkembang di satu sisi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih yang sangat pesat di sisi lain, menyebabkan terjadi perubahan yang sangat cepat secara mendasar di hampir semua bidang kehidupan. 

Belum lagi dampak atau pengaruh globalisasi menyebabkan independensi bangsa-bangsa satu sama lain sangat kuat. Batas-batas negara pun tidak lagi menjadi kendala. 
Melakukan kodifikasi dalam keadaan negara menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat serta globalisasi, bukan tidak mungkin yang terjadi bukan penciptaan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum, melainkan ketertinggalan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. 

Sebab sementara keadaan telah berubah, sedangkan ketentuan hukum yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan dinamika yang berkembang. 
Kemungkinan terjadinya ketertinggalan hukum akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, juga diakui penyusun RUU KUHP berisi 727 pasal itu. Penjelasan Buku Kedua dari RUU ditegaskan, bahwa akibat lajunya pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul. 

Oleh karena itu, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam KUHP ini, pengaturannya dilakukan dalam undang-undang tersendiri. Jelas di sini penyusun RUU KUHP tidak konsisten dengan sikap atau ambisinya melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana. 
Ultimum Remidium 

Di samping itu, ambisi penyusun RUU KUHP melakukan kodifikasi di bidang hukum pidana dengan sendirinya menutup rapat-rapat pintu ke arah perjuangan masyarakat pers akhir-akhir ini menjadikan UU Pers sebagai lex specialis sesuai adagium yang mengatakan lex specialis derogate legi generali (ketentuan bersifat khusus meniadakan ketentuan bersifat umum). 

Itu berarti apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam pemberitaan pers yang merupakan pelanggaran pidana maka secara otomatis yang dikenakan adalah pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP. 
Tapi hal menarik lainnya yang perlu diperhatikan dari RUU KUHP karya anak bangsa ini adalah masalah paradigma. Karena terkesan bahwa RUU KUHP ini masih belum meninggalkan paradigma represif dari 
KUH Pidana warisan pemerintahan kolonial Belanda yang berlaku sekarang. 

Paradigma dimaksud ialah bahwa RUU ini masih tetap mengutamakan punishment dalam pemidanaan, bukan treatment seperti diterapkan di banyak negara demokrasi di dunia. Lebih mengutamakan tindakan represif dari preventif. 
Dan sama sekali tidak mempertimbangkan asas hukum pidana yang mengatakan bahwa penerapan pasal pidana merupakan upaya terakhir apabila tidak ada lagi upaya hukum non-pidana yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana. 
Inilah yang disebut dengan asas ultimum remidium. Artinya, pemberlakuan pasal-pasal pidana bukan segala-galanya. Kalau masih ada upaya hukum non-pidana, maka pemberlakuan pasal-pasal pidana tidak perlu dilakukan. 
Pemberlakuan asas ultimum remidium ini sangat tepat diterapkan dalam perkara pers sebagai upaya hukum non-pidana. Artinya, kekeliruan atau kesalahan dalam pemberitaan pers seyogianya diselesaikan lebih dulu melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pers. 

"Ranjau-ranjau" 
Paradigma lain yang masih melekat dalam RUU KUHP ini adalah masih eksisnya pasal-pasal yang terkenal sebagai "ranjau-ranjau pers", yaitu pasal-pasal tergolong haatzaai artikelen peninggalan pemerintah kolonial 

Belanda. 
Selain sifat deliknya sangat mematikan, juga rumusan pasalnya sangat umum sehingga dikenal "pasal-pasal karet". Rumusan pasal yang sangat elastis seperti itu mengundang multi-interpretasi di kalangan penguasa berakibat mengancam kebebasan pers. 

Ternyata RUU karya anak bangsa ini bukannya menghilangkan "ranjau-ranjau pers", bahkan sebaliknya menambah "pasal-pasal karet" yang bisa mengancam kebebasan pers. Yang fatal lagi ialah ternyata penyusun RUU sama sekali tidak mempertimbangkan penjabaran pelaksanaan Amendemen Kedua UUD 1945, khususnya Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan pers. 
Sudah seharusnyalah RUU ini menuntaskan penjabaran makna hakiki dari jaminan kemerdekaan pers berdasarkan Pasal 28F UUD 1945. Itu berarti jaminan kemerdekaan pers dalam Pasal 28F UUD 1945 hanya formalitas belaka karena tanpa aktualisasi. 

Kita tiba pada kesimpulan bahwa RUU KUHP ini tidak lebih maju dari KUH Pidana peninggalan kolonial Belanda, terutama berkaitan dengan kemerdekaan pers. Kembali di sini terbukti bahwa distorsi atas kemerdekaan pers datang dari perundang-undangan, dan karenanya Pasal 28F UUD 1945 perlu direvisi dengan menegaskan tidak akan ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengurangi kemerdekaan pers. * 
Penulis adalah wartawan dan pengamat hukum pers 
________________________________________

”Salus Populi Suprema Lex”
 
oleh: Frans Hendra Winarta
(Juli 2004)
 
Rule of law tumbuh dan berkembang pertama kali pada negara-negara yang menganut common law system seperti Inggris dan Amerika Serikat, kedua negara tersebut mengejewantahkannya sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, dan derajat dalam suatu negara di hadapan hukum. Hal tersebut berlandaskan pada nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), di mana setiap warga negara dianggap sama di hadapan hukum dan berhak dijamin HAM-nya melalui sistem hukum dalam negara tersebut.

Negara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat dipersalahkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum. Rule of law mengandung asas ”dignity of man” yang harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang pemerintah/penguasa. (Oemar Seno Adji, 1980). Inti dari rule of law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan dijamin hak-hak asasinya. 

Maknanya adalah rasa keadilan yang kembali kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan dan para penguasa yang menciptakan hukum, sebagaimana adagium Solus Populis Suprema Lex yang berarti suara rakyat adalah suara keadilan (sic – Salus populi suprema lex artinya kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi – Red.). 

Indonesia berdiri sebagai sebuah negara ”rechtsstaat”/negara hukum (yang menurut Friedrich Julius Stahl, memiliki empat unsur yaitu: hak-hak dasar manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan peradilan tata usaha negara). Konsep negara hukum Indonesia terlihat ideal dan rule of law pun sebenarnya tercakup di dalamnya. Tetapi pada praktiknya rule of law belum terwujud secara nyata. Baru setelah gerakan reformasi tercetus, Indonesia kembali mencari bentuk akan identitas ”negara hukumnya”dan juga ”rule of law” ”Civil Law System” Indonesia sebagai negara yang menganut civil law system (Eropa Kontinental), mengedepankan hukum positif sebagai patokan utama dalam menjalankan tugas-tugas negara dan juga dalam sistem peradilannya. Apabila konsep negara hukum Indonesia dengan civil law system- nya diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip idealnya maka rule of law sudah pasti akan dapat terwujud.

Bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri sebagai ”negara hukum” atau ”rechtsstaat” sudah merupakan finalisasi dari perjalanan sejarah tata hukum Indonesia. Juga civil law system yang dianutnya merupakan sistem yang telah menjadi dasar tata hukum di sini. 

Rule of law yang menjadi konsep hukum dan keadilan dari negara-negara common law, merupakan suatu tatanan baru yang ada di hadapan Indonesia saat ini. Indonesia tidak mungkin mengubah sistem hukumnya menjadi common law system. 

Apakah mungkin sebuah negara hukum Indonesia dengan sistem civil law (Eropa Kontinental) mewujudkan rule of law dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya? Jawabannya adalah mungkin. Karena pada hakikatnya konsep negara hukum Indonesia yang ideal juga mencakup rasa keadilan dari masyarakat dan melindungi hak-hak asasi setiap warga negara Indonesia. Namun, sampai saat ini rule of law mungkin belum terwujud, dan itu bukan karena sistem hukum yang salah, tetapi karena unsur manusia yang menjadi pelaksana-pelaksana kenegaraan yang telah salah menjalankan negara ini.

Minimal Tiga Hal Untuk dapat mewujudkan rule of law di Indonesia, Indonesia harus melakukan minimal tiga hal, yaitu; Pertama, hukum di Indonesia harus memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Maksudnya, sejak dari proses legislasi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) para wakil rakyat harus bisa mengejawantahkan aspirasi keadilan rakyat dalam rancangan undang-undang yang sedang dikerjakannya. Hukum yang diciptakan harus responsif terhadap tuntutan akan rasa keadilan rakyat dan hukum yang diciptakan harus bersih, murni dari intervensi politik, ekonomi, dan kepentingan sekelompok orang.

Kedua, Indonesia harus menjalankan suatu sistem peradilan yang jujur, adil, dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sistem peradilan Indonesia saat ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya karena kurangnya pemahaman dan kemampuan atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik penyidik, penuntut umum, hakim, penasihat hukum, bahkan masyarakat pencari keadilan. 
Proses peradilan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, padahal Indonesia memiliki asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah, namun akhirnya semua itu hanya menjadi slogan semata. Disinyalir, sistem peradilan di Indonesia telah terkontaminasi oleh ”mafia peradilan”. Jika ini semua belum dapat diberantas mustahil rule of law dapat terwujud. Kasus Akbar Tanjung yang akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung, kasus HAM Timor-Timur, dan pembubaran TGTPK oleh judicial review MA merupakan contoh yang sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Akses Publik Ketiga, Akses publik ke peradilan harus ditingkatkan. Hukum positif Indonesia telah merumuskan sejumlah hak masyarakat pencari keadilan yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak yang diberikan kepada pencari keadilan dalam sistem peradilan Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain, dan umumnya mengikuti norma dan prinsip dalam instrumen internasional. 

Akan tetapi dalam banyak peristiwa justru kewenangan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum tersebut telah disalahgunakan sehingga merugikan hak para pencari keadilan. Sejumlah kenyataan lain yang sering dijumpai adalah awal pemeriksaan yang tidak pasti, intimidasi, meremehkan keterangan yang diberikan, dan lain sebagainya. Tidak jarang pula pemeriksaan terhadap tersangka memiliki kendala yang dialami oleh penyidik. Salah satunya yang sering muncul adalah tersangka dengan sengaja mempersulit jalannya pemeriksaan. Ini mengakibatkan polisi sebagai penyidik menggunakan berbagai upaya baik yang lazim maupun tidak agar penyelesaian dapat berjalan cepat. Oleh karena itu untuk mewujudkan rule of law, akses publik ke peradilan jelas harus ditingkatkan.

Indonesia sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law dalam negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua pihak yang terlibat dalam proses hukum untuk berkorban dan berjuang menyingkirkan segala kebobrokan masa lalu dan menatap pada masa depan negara hukum Indonesia yang baru, yang memiliki the rule of