MAKALAH KONFIGURASI KEBUDAYAAN DAN PERADABAN MASYARAKAT
Contoh Makalah
KONFIGURASI KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
MASYARAKAT
SULAWESI
TENGGARA MODERN
Oleh
:
Abstrak
Globalisasi telah mendorong
terjadinya perubahan berbagai aspek kehidupan manusia. Perubahan itu pula telah
menimbulkan interaksi antarkebudayaan dan kemajuan peradaban manusia. Pada
konteks lokalitas, kebudayaan suku bangsa di Sulawesi Tenggara juga telah
mengalami pergeseran dan perubahan seiring dengan dinamika kehidupan
masyarakatnya. Konfigurasi kebudayaan suku bangsa di Sulawesi Tenggara
diharapkan dapat menciptakan peradaban ke arah yang lebih baik, maju, dan
modern. Oleh karena itu, konfigurasi kebudayaan dan peradaban masyarakat
Sulawesi Tenggara yang modern ini tidak menimbulkan terjadinya konflik sosial.
Untuk menciptakan harmonisasi masyarakat yang pluralis tersebut, maka
diperlukan sebuah prinsip “ethics of pluralism” dengan cara
mengembangkan prinsip “cross-cutting affiliations” antarsuku
bangsa yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kata Kunci : Konfigurasi kebudayaan dan Peradaban, Masyarakat Sulawesi
Tenggara
Pendahuluan
Pengertian kebudayaan dalam tulisan
ini merupakan sumber sistem nilai atau tata nilai masyarakat. Sistem nilai
itulah yang membentuk sikap mental atau pola berpikir manusia atau masyarakat
sebagaimana tersirat di dalam pola sikap dan perilaku sehari-hari dalam
berbagai segi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik dan segi-segi kehidupan
lainnya. Berdasarkan pengertian itu, kebudayaan itu sesungguhnya unsur utama
dalam proses pembangunan yang kita lakukan menuju perubahan peradaban yang
modern.
Sebagai unsur utama dalam proses
pembangunan, kebudayaan dapat berperan sebagai faktor pendorong terhadap
jalannya proses pembangunan. Kebudayaan hanya mungkin memainkan peranannya
sebagai pendorong proses pembangunan jika berhasil mempertahankan relevansinya
dengan dinamika perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal ini mengandung arti
bahwa kebudayaan dituntut pula untuk
memperbaruhi dan mengembangkan dirinya, antara lain dengan menyesuaikan dengan nilai-nilai yang relevan dengan kemajuan
zaman sebagai bagian integral.
Demikian pula, proses pembangunan manusia dan
masyarakat Sulawesi Tenggara misalnya, dibutuhkan suatu kerangka berpikir untuk
memajukan pembangunan kebudayaannya. Hal itu penting karena tidak hanya manusia
dan masyarakatnya yang harus bersifat dinamis dalam proses pembangunan, akan
tetapi dalam hal ini kebudayaan juga harus memiliki dinamika. Oleh sebab itu,
masyarakat Sulawesi Tenggara sebenarnya dituntut untuk terus menerus
mengembangkan pemikiran tentang kebudayaan dan peradabannya terutama dalam
keperluannya untuk menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat ke
arah yang lebih modern.
Sebagaimana diketahui bahwa
masyarakat Sulawesi Tenggara dalam memasuki era modernisasi tidak mungkin akan
meninggalkan diri dari unsur kebudayaannya. Artinya bahwa pendekatan kebudayaan
dapat merupakan alternatif terbaik bagi pembangunan dan perubahan masyarakat,
terutama bagi masyarakat yang sedang berkembang yang masih dalam proses
pembentukan masyarakat modern.
Konfigurasi
Kebudayaan dan Peradaban Modern
Menurut pandangan para ahli,
kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kebudayaan materi atau materialisme
dan kebudayaan yang bersifat rohaniah. Menurut Alfian (1982) misalnya
menjelaskan bahwa ada kebudayaan yang mungkin berhasil melambungkan
masyarakatnya dalam bidang ekonomi dan teknologi, tetapi dalam aspek lain
justru menunjukkan suasana ketandusan dalam bidang seni budaya dan kekeringan
dalam kehidupan beragama atau rohani. Kebudayaan seperti itu jelas hanya mempunyai
orientasi yang kuat sekali pada pemuasan kebutuhan manusia yang bersifat
materi, sedangkan perhataian terhadap pemenuhan kebutuhan rohani sangat kecil
sekali. Oleh karena itu, kebudayaan seperti itu sering pula disebut sebagai
kebudayaan materi atau “materialisme”.
Dalam konteks sebagaimana yang
diuraikan di atas, masyarakat Sulawesi Tenggara tidak menghendaki hal itu
terjadi. Dalam konteks itu pula kebudayaan masyarakat Sulawesi Tenggara
menginginkan adanya keseimbangan antara apa yang disebut pemenuhan kebudayaan
materi dan kebudayaan yang bersifat rohani. Oleh karena jika tidak ada
keseimbangan maka dapat diibaratkan bahwa suasana mengejar kehidupan materi
yang keras kurang berhasil dilembutkan oleh kehidupan rohani yang tampak adalah
kegersangan. Kondisi seperti itulah yang kemudian menimbulkan gejala-gejala
kekurangan atau ketidakseimbangan dalam jiwa seseorang. Jiwa yang kurang/tidak
seimbang mudah goyah atau menjadi rapuh dalam menghadapi tekanan atau
persolan-persoalan kehidupan, atau ia mudah mengundang keresahan, kegelisahan,
dan frustasi.
Konsep “westernisasi” yang
akhir-akhir ini sering muncul memang tampak dimaksudkan ntuk menjelaskan asal
muasal dari “model” modernisasi yang berpusat pada pemenuhan kepuasan materi
manusia. Kalau asal muasal sudah jelas, itu jelas juga akan memungkinkan kita
untuk membangun model-model modernisasi yang lain. Model-model lain tidak perlu
berarti penolakan mutlak terhadap keberhasilan masyarakat Barat dengan
kebudayaannya, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan
lebih banyak berupa penyempurnaan dari model “westernisasi” itu antara lain
dengan jalan menunjukkan bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan yang telah
diuraikan sebelumnya.
Dari kondisi seperti di atas itulah
kemudian mengapa banyak dari mereka menolak model modernisasi yang
dipercontohkan Barat “westernisasi” sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi
bagi perkembangan masyarakat mereka. Itu pulalah yang antara lain menyebabkan
mereka memilih model modernisasi kedua dalam berbagai versinya sebagai
alternatif yang lebih baik dari model “westernisasi” ala Barat.
Ilustrasi di atas, sebenarnya dapat
dijadikan pijakan (reference) bagi kebudayaan masyarakat Sulawesi
Tenggara untuk tidak mengulangi kelemahan-kelemahan “proses modernisasi” ala
masyarakat (kebudayaan Barat). Oleh karena itu agar kebudayaan masyarakat
Sulawesi Tenggara tetap eksis dan sekaligus tetap dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan masyarakat, maka ada tiga dimensi yang perlu dipenuhi oleh
kebudayaan masyarakat Sulawesi Tenggara tersebut.
Pertama, kebudayaan
masyarakat Sulawesi Tenggara dituntut untuk dapat mencerminkan realita
nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakaatnya. Oleh karena
hanya disitulah anggota-anggota masyarakat akan merasa bahwa kebudayaannya itu
memang miliknya.
Kedua, kadar idealisme yang
terkandung di dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu
yang menjadi persoalan apakah idealisme yang terkandung di dalam nilai-nilai
dasar kebudayaan masyarakat tersebut dapat dicapai.
Ketiga, berkaitan dengan
aspek flesibilitas. Dimnesi ketiga ini menuntut kemampuan kebudayaan masyarakat
Sulawesi Tenggara untuk melandasi dan mendorong perubahan atau pembaharuan
masyarakat, tetapi juga sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
itu. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau pengertian-pengertian baru mengenai
nilai-nilai dasar serta idealisme yang terkandung dalam kebudayaan masyarakat
Sulawesi Tenggara dapat dikembangkan dalam kaitannya dengan realita-realita
yang baru muncul sebagai proses perubahan masyarakat.
Perlu diketahui bahwa masyarakat
Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat yang majemuk dengan latar belakang
berbagai kebudayaan daerah yang berbeda-beda. Akan tetapi berbagai kebudayaan
daerah dari berbagai suku bangsa tersebut terikat dalam sebuah kesatuan
berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Suriasumantri (1987) menjelaskan
bahwa unsur-unsur kebudayaan daerah tersebut merupakan modal dasar bagi
pembentukan kebudayaan nasional. Dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara
maka secara alamiah unsur-unsur kebudayaan daerah ini akan menyatu ke dalam
kebudayaan nasional. Proses yang bersifat alamiah ini berarti bahwa proses
penyatuan unsur-unsur kebudayaan daerah berjalan secara wajar tanpa campur
tangan dan paksaan. Dalam proses seleksi yang bersifat alamiah maka unsur-unsur
kebudayaan daerah yang mencerminkan cita-cita dan kehendak masyarakat Indonesia
secara de fakto menjadi unsur kebudayaan nasional. Untuk itu kepada
segenap unsur kebudayaan daerah diberikan hak dan perlakuan yang sama
untuk memperkaya kebudayaan nasional kita.
Dengan demikian, kebudayaan daerah
yang ada di Sulawesi Tenggara merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
kebudayaan nasional. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan kebudayaan
nasional yang bersumber dari unsur kebudayaan daerah harus didasarkan pada
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Peranan
Kebudayaan Lokal Sulawesi Tenggara dan Pemberdayaannya
Menurut para ahli, era globalisasi
merupakan suatu agenda politik yang bersentuhan dengan masalah perkembangan
kebudayaan lokal. Sesungguhnya ketika Orde Baru berkuasa, konstitusi juga sudah
mengamanatkan adanya pengembangan kebudayaan daerah (kebudayaan lokal). Akan
tetapi Orde Baru nampaknya mendangkalkan pengertian kebudayaan dengan
membatasinya sebagai sesuatu yang bernilai seni. Lagi pula Orde Baru juga lebih
berorientasi pada pengembangan kebudayaan nasional dengan menciptakan
hegomonisasi kebudayaan serta melihat penguatan kebudayaan lokal sebagai
ancaman disintegrasi.
Dibandingkan Orde Baru yang mereproduksi modernisme, era globalisasi
lebih memberikan kesempatan bagi menguatnya gerakan penguatan kebudayaan lokal.
Globalisasi memang membuka proses homogenisasi kebudayaan dunia, tetapi juga
membuka terjadinya pluralisme kebudayaan karena dapat menjadi sarana bagi
merebaknya kapitalisme ke penjuru dunia. Menurut para ahli menjelaskan bahwa
era globalisasi sama dengan postmodernisme yaitu ketika “ekonomi lebih
berbudaya”. Di sini Jameson melihat bahwa zaman kapitalis akhir (late
capitalism) lebih diisi dengan komoditas kebudayaan. Lewat pasar kebudayaan
mengalir dari produsen ke konsumen dan kebudayaan itu bukan hanya bentukan dari
industri kebudayaan di pusat-pusat peradaban tetapi juga di berbagai penjuru
dunia yang terakit dalam pasar global. Sementara itu, arus reformasi dan
khususnya semangat kedaerahan juga membuka peluang bagi bangkitnya kebudayaan
lokal dengan segala tuntutannya ketika berhadapan dengan masyarakat luar.
Seperti kebudayaan pada umumnya,
kebudayaan lokal Sulawesi Tenggara sebagai suatu milik diri masyarakat
berfungsi sebagai identitas mereka di tengah pergaulan antarmasyarakat yang
majemuk. Sebagai identitas, kebudayaan lokal menjadi penting bagi pembentukan
kepribadian dan harga diri. Pakaian adat Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan
berbeda bukan sekedar menunjukkan kreativitas seni yang berlainan, tetapi pada
gilirannya mengungkapkan bahwa mereka itu hidup dalam komunitas yang berbeda.
Kesetiaan, kecintaan, dan keakraban orang Sulawesi Tenggara dengan komunitasnya
disimbolkan dengan pilihan pakaian masing-masing yang tidak dapat
dicampuradukan begitu saja.
Kebudayaan lokal Sulawesi Tenggara
sebagai suatu yang eksklusif milik suatu masyarakat yang bersangkutan
ditunjukkan oleh kenyataan bahwa kebudayaan tersebut merupakan hasil proses
adaptasi jangka panjang dan telah terbukti memberikan manfaat bagi kepentingan
mereka dari segi sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi. Tradisi sama turu misalnya
pada masyarakat Sulawesi Tenggara merupakan alat untuk memecahkan masalah
kelangkaan tenaga kerja di saat sibuk kegiatan-kegiatan masyarakat (kegiatan
pertanian, sosial kemasyarakatan dan sebagainya).
Menurut Hudayana (2000), ada
beberapa kekuatan-kekuatan yang dimiliki kebudayaan lokal (termasuk Sulawesi Tenggara)
yang sekaligus juga memiliki makna bagi masyarakatnya.
Pertama, adaptasi ekologis
dan kelestarian lingkungan. Banyak ahli yang menemukan sistem teknologi
tradisional dengan keunggulan yang sangat tidak diragukan dalam menjamin
kelestarian lingkungan.
Kedua, akses bersama terhadap
sumber daya alam dan sosial. Kebudayaan lokal Sulawesi Tenggara merupakan suatu
produk dari masyarakat yang menjunjung tinggi tinggi nilai-nilai komunalitas.
Hal ini nampak dalam manajemen pengelolaan sumber daya alam yang ada di
lingkungan tempat tinggal mereka. Pada masyarakat Tolaki misalnya, kita
mengenal “mondau”, dimana hutan primer merupakan hutan milik publik yang
dapat diakses oleh setiap warga. Peningkatan jumlah penduduk akan teratasi
sejauh masih ada hutan primer yang kemudian dimanfaatkan untuk ladang. Selain
itu, setiap komunitas peladang masyarakat setempat biasanya mempunyai hak
ulayat, yaitu tanah yang dijadikan milik komunal yang penggarapannya dapat
didistribusikan kepada anggota yang membutuhkannnya.
Ketiga, perlawanan terhadap
keterasingan sosial budaya. Sulit bagi setiap orang untuk meninggalkan
kebudayaannya dan kemudian memasuki kehidupan dengan menggunakan kebudayaan
orang lain sebagai bagian dari identitas kulturalnya. Setiap orang akan mudah
mempertahankan sebagian dari nilai, sikap, dan perilaku budaya dar suku atau
bangsanya meskipun telah meleburkan dirinya ke dalam budaya orang lain. Para
migran yang menetap di perkotaan Kendari, misalnya meskipun sudah meleburkan
diri ke dalam kehidupan baru dengan menyerap budaya populer masih
mempertahankan budaya daerahnya. Mereka ini masih menggunakan bahasa ibunya,
dan sering pula mengkonsumsi makanan
daerah dan bergaul dengan orang yang sedaerah.
Dewasa ini, ancaman keterasingan
budaya dan sosial dapat dialami oleh sebagian warga masyarakat di daerahnya di
sebagian Sulawesi Tenggara karena derasnya arus budaya asing. Mereka masih bisa
bergaul dengan teman dengan menggunakan bahasa daerahnya serta mengkonsumsi
makananan yang tidak asing baginya. Namun mereka semakin sulit menikmati musik
dan seni pertunjukkan dari daerahnya. Mereka merindukan musik tradisional dari
daerahnya yang semakin langka. Oleh karena itu di tengah-tengah maraknya seni
musik ala budaya populer dan seni film yang ke barat-baratan, muncul seni
tradisional yang sudah tidak banyak penggemarnya.
Gejala revitalisasi budaya lokal
mengalami perkembangan yang relatif pesat pada era globalisasi. Golbalisasi
telah menawarkan budaya konsumtif yang menggiring manusia untuk mengkonsumsi
barang sebagai sarana bagi pembentukan identitas diri yang bernuansa masyarakat
maju. Dengan membiasakan makanan
McDonald, KFC, TFC dan sebagainya, konsumen dibawa pada citra kelas menengah
yang sukses dan cita rasa internasional. Gejala globalisasi semacam itu menghadapi
arus resistensi oleh sekelompok masyarakat yang berusaha kembali kepada basis
budayanya. Mereka kemudian mereproduksi budaya makan khas daerah pada saat-saat
perjamuan resmi. Mereka menampilkan makanan khas daerah seperti, sinonggi
(khas masyarakat Tolaki), kasuami dan sebagainya. Begitu pula penampilan
kesenian tradisional, melulo misalnya juga dilakukan pada saat-saat
menerima tamu atau pejabat dari pusat.
Keempat, penguatan ekonomi
masyarakat lokal. Kebudayaan lokal bukan sekedar kreativitas pikiran dan
imajinasi manusia yang tidak mempunyai nilai dan kepentingan ekonomi.
Kebudayaan lokal memberikan identitas dan harga diri sekaligus potensi bagi
pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
Untuk mengembangkan dan melestarikan
kebudayaan Sulawesi Tenggara tidaklah cukup dengan dilakukannya
penelitian-penelitian untuk menginventarisasi sejarah dan kebudayaan lokal.
Penelitian seperti itu belum cukup memadai dan belum cukup memuaskan untuk
diimplementasikan bagi pemberdayaan kebudayaan lokal Sulawesi Tenggara untuk
tujuan praktis. Penelitian mereka lebih mendekati kepada tujuan memenuhi
kebutuhan akademis semata.
Penutup
Masyarakat Sulawesi Tenggara
terdiri dari berbagai suku bangsa dengan budaya lokalnya yang berbeda-beda.
Keragaman eksistensi kebudayaan lokal dari masing-masing suku bangsa di daerah
itu merupakan kekayaan budaya yang luar biasa. Oleh karena itu, untuk
mengembangkan dan melestarikan kebudayaan lokal tersebut diperlukan suatu
agenda untuk memberdayakannya.
Proses reformasi menuju otonomi
daerah diharapkan akan dapat menghargai keanekaragaman budaya lokal sebagai
identitas kultural bagi setiap kelompok suku bangsa yang ada di Sulawesi
Tenggara. Kebijakan ini hendaknya mengarah pada semangat pluralisme dan
multikulturalisme. Pluralisme akan menumbuhkan toleransi terhadap
keanekaragaman dan perbedaan budaya. Setiap suku bangsa di daerah ini
diharapkan bebas mengembangkan budaya lokalnya dan diharapkan juga dapat
menghargai budaya lokal suku bangsa lainnya. Oleh karena itu, di dalam kehidupan
masyarakat yang pluralis diperlukan sebuah prinsip ethics of pluralism.
Perlu mendapat perhatian yang
serius bahwa ke depan pemerintah diharapkan dapat menciptakan suatu political
setting yang memungkinkan timbulnya kemajemukan tidak seharusnya membawa kecenderungan
masyarakat yang monolitik atau bipolarisme atau tripolarisme yang mengarah pada
pergeseran bentuk cleavages, akan tetapi yang justru harus perlu
dikembangkan adalah prinsip cross-cutting affiliations.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1982. Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta.
Hudayana, Bambang. 2000. Kebudayaan Lokal dan Pemberdayaannya. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Vol.3, Nomor 3, Maret 2000. Yogyakarta.
Soedjatmoko, et.al,. 1987. Masalah Sosial Budaya Tahun 2000 : Sebuah Bunga Rampai. Tiara Wacana. Yogyakarta
Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Kanisius. Yogyakarta
_________________. 1997. Demokratisasi Ekonomi dan Pertumbuhan Politik. Kanisius. Yogyakarta
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.