Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

MAKALAH BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAH

Berikut contoh bahan makalah tentang BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAH

BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAH

Paragrap 1 : Bermacam-macam perbuatan administrasi negara.

            Perbuatan-perbuatan administrasi negara dapat kami golongkan dalam dua kategori, yaitu ; kategori perbuatan hukum ( rechtshandelingen ) dan kategori perbuatan yang bukan perbuatan hukum atau perbuatan tanpa akibat yang diatur oleh hukum ( geen rechts – tetapi hanya feitelijke handelingen ).
            Berdasarkan kelaziman sistimatik ( menurut sistim ), hukum itu dibagi dalam dua golongan, yakni ; hukum privat ( sipil ) dan hukum publik, dan oleh sebab itu perbuatan hukum itu ada dua kategori pula :
  1. Perbuatan menurut hukum privat ( sipil )
  2. Perbuatan menurut hukum publik.

Perbuatan hukum itu ada dua macam, yaitu :
  1. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua ( tweezijdige publikrechttelijke handeling ).
Contoh tentang suatu perbuatan hukum yang bersegi dua, yaitu perjanjian menurut hukum publik adalah perjanjian kerja jangka pendek ( kortverband contract ) yang diadakan oleh seorang partikelir, sebagai pekerja, dengan pemerintah, selama tiga tahun. Perjanjian jangka pendek itu diadakan karena suatru perbuatan hukum yang bersegi dua, yaitu suatu perjanjian. Disini ada penyesuaian kehendak antara pekerja dan pemberi pekerjaan, dan perbuatan hukum itu diatur oleh suatu hukum “istimewa”, yaitu peraturan hukum publik, dan tidak diatur oleh hukum “biasa”, yaitu hukum privat ( KUHPerdata ). Pekerja itu dapat diangkat selaku pegawai negeri berdasarkan kontrak jangka pendek selama waktu berlakunya perjanjian kerja jangka pendek itu.
  1. Perbuatan hukum publik bersegi satu ( eenzijdige publikrechtelijke handeling )
Perbuatan hukum yang bersegi satu, yang diadakan oleh alat-alat pemerintah menurut suatu wewenang istimewa, diberi nama “beschikking”, dalam bahasa Indonesia sering dipakai istilah ketetapan. Perbuatan yang mengadakan suatu ketetapan disebut perbuatan penetapan ( beschikkingshandeling ).

KETETAPAN
Ketetapan yang dibuat dengan maksud menyelenggarakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara ( staatsorgaan ) yang membuatnya, yakni ketetapan intern , maupun menyelenggarakan hubungan-hubungan antara alat negara yang membuatnya dengan seorang partikelir atau badan privat ( swasta ) atau antara dua atau lebih alat negara  disebut ketetapan ekstern.
            Ketetapan  dalam arti kata luas yang dimaksud yaitu khusus bagi lapangan pemerintahan, yaitu yang merupakan perbuatan pemerintah yang khusus bagi perundang-undangan Sedangkan keputusan hakim merupakan perbuatan pemerintah dalam arti kata luas yang khusus bagi lapangan mengadili.
Ketetapan dalam arti kata sempit yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu alat pemerintahan. Melainkan, dalam arti kadang-kadanga ketetapan itu juga dibuat oleh suatu alat pemerintah ( regeerorgaan ) yang termasuk kalangan kehakiman, misalnya dalam hal mengangkat seorang ahli atau oleh suatu alat pemerintah yang termasuk kalangan badan-badan perundang-undangan. Misalnya, dalam hal pembuat undang-undang sentral ( pusat ) membuat suatu undang-undang persetujuan yang memberi kekuasaan kepada Presiden untuk meratifikasi suatu traktat (Pasal 11 UUD Pasal 120 ayat 2 undang-undang dasar sementara tahun 1950 dahulu), dalam hal hak milik seorang partikelir atau badan swasta dicabut ( onteigening ) maka oleh pemerintah dibuat suatu “nutswet” ( undang-undang yang memberi kekuasaan kepada suatu alat pemerintah untuk mencabut sesuatu hak milik ) ( Pasal 6 Onteigeningsordonnantie, LNHB 1920 Nr 574, “nutsordonnantie” ).

*      Bentuk-bentuk dari ketetapan, yaitu :
  • Ketetapan termuat dalam keputusan MPR, yaitu mengenai ketetapan-ketetapan MPR
  • Keputusan Presiden ( yang dibantu oleh Menteri dan Pemerintah )
  • Keputusan Menteri
  • Keputusan DPRD ( swatantra )
  • Keputusan kepala daerah administratif ( desiden )
  • Keputusan hakim ( rechterlijke beschikking )
  • Undang-Undang.

Paragraf 2 :Peraturan dan ketetapan, Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, penetapan Presiden dan Ketetapan MPRS dan MPR.

Menurut UUD kekuasaan administrasi negara membuat peraturan terdapat dalam kekuasaan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( PPPUU  Pasal 22 ) pada waktu UUD sementara tahun 1950 masih berlaku ada kekuasaan membuat undang-undang darurat – pasal 96 dan 97, yaitu : membuat peraturan perundang-undangan atas inisiatif sendiri dalam “hal ihwal kepentingan yang memaksa”, berdasarkan delegasi perundang-undangan kepada Presiden ( pasal 4 ayat 1 ), berdasarkan delegasi perundang-undangan dari undang-undang kepada pemerintah ( pasal 5 ayat 2) ; ketika undang-undang dasar sementara tahun 1950 masih berlaku : pasal-pasal 98 dan 99.
Dalam praktek administrasi negara, bagian terbesar dari kekuasaan membuat peraturan yang didelegasi kepada pemerintah itu diserahkan terus kepada para ahli pemerintahan ( bestuursspecialisten ), yakni kepada kepala jawatan, kepala bagian, kepala direksi ( Pasal 99 UUD Sementara tahun 1950 ), bahkan kepada badan yang tidak termasuk kalangan administrasi negara ( badan swasta yang diberi kekuasaan pemerintah ) yang disebut delegasi istimewa. Agar dapat menjalankan tugasnya sebaik-baiknya maka pemerintah memerlukan dekonsentrasi dan desentralisasi yang juga kita kenal dalam rangka UDD, misalnya desentralisasi teriturial, yaitu mendelagasi kekuasaan membuat peraturan kepada administrasi daerah swatantra.

*      Perbedaan antara ketetapan dan peraturan :
Ø     Ketetapan itu dibuat untuk menyelesaikan suatu hal konkrit yang telah diketahui terlebih dahulu oleh administrasi negara.
Ø     Peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahuo terlebih dahulu dan yang mungkin akan terjadi ( hal umum ). Peraturan ditujukan kepada hal-hal yang masih abstrak.


*      Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu :
·                     Menetapkan pembubaran konstituante
·                     Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia.
·                     Tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara

*      Urutan Perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS Nr XX / 1966, yaitu :
  1. UUD 1945
  2. Ketetapan MPR ( S )
  3. Undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
  4. Peraturan pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.

Ø  Ketetapan dibagi dalam dua macam, yaitu :
1.      Ketetapan sah ( rechtsgeldige beschikking )
2.      Ketetapan tidak sah ( nietrechtgeldige beschikking )
Ø  Ketetapan tidak sah dapat berupa :
·         Ketetapan yang batal karena hukum ( nietig van rechtswege ), berarti akibat sesuatu perbuatan, untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya, bagi hukum dianggap tidak ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu.
·         Ketetapan yang batal ( nietig, juga : batal absolute, absolute nietig )
Pengertian “batal” dan “dapat dibatalkan” itu terpenting bagi akibat sesuatu perbuatan yang oleh hakim dibatalkan karena mengandung kekurangan. Bilamana sesuatu yang mengandung kekurangan dibatalkan oleh hakim. Ada perbuatan yang akibatnya bagi hukum dianggap tidak pernah ada, jadi, batal sama sekali, dan ada perbuatan yang akibatnya oleh hukum diakui walaupun hendaknya, bila mungkin, akibat itu semuanya atau sebagiannya dihapuskan.



·         Ketetapan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar )
Dapat dibatalkan ( vernietigbaar ) berarti, bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berwenang.

Paragraf 3 : Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan adalah ketetapan sah ( voorwaarde voor de rechtsgeldigheid der beschikking )

*      Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan adalah ketetapan sah, yaitu :
  1. Ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali
  2. Berlakunya ketetapan itu dapat digugat dalam :
    1. bandingan ( beroep )
    2. pembatalan oleh jabatan ( ambtshalve vernietiging ) karena bertentangan dengan undang-undang.
    3. Penarikan kembali ( interekking ) oleh kekuasaan yang berwenang        ( competent ) mengeluarkan ketetapan tersebut.
  3. Dalam hal ketetapan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan ( peneguhan ) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.
  4. Ketetapan diberi suatu tujuan lain daripada tujuan permulaannya ( konversi, conversie ).

Menurut Prof. Van der Pot, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah, yaitu :
  1. Ketetapan harus dibuat oleh alat ( orgaan ) yang berwenang ( bevoged ) membuatnya.
Bilamana alat ( jabatan ) yang membuat sesuatu ketetapan dengan terang kelihatan tidak berwenang membuatnya, maka ketetapan itu dapat menjadi batal mutlak. Jadi, ketetapan itu dianggap tidak pernah ada dan pembatalan ketetapan tersebut berlaku surut sampai waktu sebelum ketetapan itu dikeluarkan
  1. Karena ketetapan itu suatu pernyataan kehendak ( wilsverklaring ), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (  geen juridische gebreken in de wilsvorming ).
Dalam pembentukan kehendak dari alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapan, tidak boleh ada kekuarangan yuridis. Kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapan dapat disebabkan oleh karena :
    • Salah kira ( dwaling ), terjadi bilamana seorang ( subyek hukum ) menghendaki sesuatu dan membuat suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bayangan ( voorstelling ) ( tentang suatu hal ) yang salah.
Contoh : A hendak membeli sebidang tanah yang harus ditanami dengan kl. 40.0000 pohon jati. Maksudnya untuk mengadakan suatu perusahaan kayu. A berhasil memperoleh dari B sebidang tanah yang telah ditanami dengan kl. 20.000 pohon jati. Tetapi ketika perjanjian jual-beli yang bersangkutan diadakan, maka A tidak tahu bahwa bidang tanah itu tidak ditanami dengan kl. 40.000 pohon. Saat perjanjian jual-beli diadakan A sungguh-sungguh mengira ia kelak akan memiliki sebidang tanah dengan kl. 20.000 pohon, baru kemudian diketahui A. Disini terjadi salah-kira mengenai pokok maksud pembuat.
    • Paksaan.
Pasal 1321 KUHPerdata menggunakan istilah “paksaan keras” (“geweld”), tetapi yang dimaksud disini bukan “paksaan keras”, yang dimaksud disini adalah “paksaan biasa” (“dwang”). Hal ini dapat diketahui dari pasal 1324 KUHPerdata.
Akibat perbuatan yang diadakan dengan menggunakan paksaan keras ( vias absoluta ) adalah batal mutlak, oleh karena pada pihak yang dipaksa sama sekali tidak ada suatu kehendak. Misalnya, A sesudah dipukul sehingga hampir tidak lagi menyadari diri, diikat diatas kursinya dan tangannya dipegang. Dapat dikatakan bahwa keterangan yang ditulis A itu bukan pernyataan kehendaknya, walaupun tangannyalah yang menulis keterangan itu. Keterangan tersebut semata-mata pernyataan kehendak yang memaksa.
Akibat perbuatan yang diadakan dengan menggunakan paksaan (biasa) adalah dapat dibatalkan ( yaitu batal untuk sebagian ), oleh karena pada pihak yang dipaksa ada suatu kehendak, walaupun pembentukan kehendak itu dipengaruhi oleh suatu ancaman. Misalnya, A diancam oleh B dengan sebuah pistol. A masih dapat memilih antara dibunuh atau memuat suatu keterangan yang dikehendaki oleh pengancam. A memilih membuat keterangan, jadi, pada A ada suatu kehendak.
Menurut pasal 1324 ayat 2 KUHPerdata maka dalam pembuatan suatu perbuatan yang diadakan dengan menggunakan paksaan, hakim harus memperhatikan umur, jenis kelamin, dan kedudukan sosial dari yang dipaksa.
    • Tipuan, terjadi bilamana yang melakukan perbuatan menggunakan beberapa muslihat ( kunstgrepen ) sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu bayangan palsu ( valse voorstelling ) tentang suatu hal. Agar ada tipuan maka perlu ada beberapa muslihat, ada gabungan muslihat-muslihat ( complex van kunstgrepen ) ; satu bohong belum menjadi tipuan. Pasal 1328 KUHPerdata, dan keputusan Hoge Raad Belanda tertanggal 28 Juni 1929 dalam Weekblad van her Recht ( majalah Belanda ) Nr 12033.

Menurut Donner, maka dalam menjalankan secara analogi pengertian-pengertian hukum privat dalam hukum administrasi negara ( hukum publik ) haruslah diperhatikan tiga hal istimewa, yaitu :
3.          Dalam hal hukum privat, salah-kira, misalnya hanya menjadi sebab sesuatu perjanjian tidak sah, bilamana salah-kira itu terdapat pada kedua belah pihal. Dalam pembuatan suatu ketetapan tidak ada dua pihak yang kedudukannya sederajat, melainkan hanya satu pihak saja yang dapat menentukan kehendaknya, yaitu pemerintah ;
4.          Maka dari itu dalam menafsirkan sesuatu ketetapan, tidak pentinglah dicari maksud alat negara yang membuat ketetapan itu. Yang menjadi penting adalah maksud hukum ( privat obyektif ) yang menjadi dasar ketetapan itu, oleh karena kita boleh percaya akan hal ketika pemerintah membuat ketetapan itu maka maksud pemerintah tidak lain daripada menyelenggarakan apa yang diperintah oleh undang-undang ;
5.          Bilamana kita hendak mencari hal-hal yang analogis dalam hukum privat maka kita tidak dapat mencari hal-hal itu dalam bagian hukum privat mengenai perjanjian ( perbuatan hukum yang bersegi dua ) tetapi dalam bagian hukum privat mengenai perbuatan hukum yang bersegi satu, misalnya pembuatan testament. Seperti halnya dengan pembuatan ketetapan, maka pembuatan testament itu suatu perbuatan hukum yang definitive dan kalau bisa tidak diubah lagi.

Sanggahan : tanggapan dari Donner tidak dapat diterima, karena pendapat tersebut tidak membawa penyelesaian menurut realitas. Sebagai suatu badan hukum ( rechtpersoon) maka jabatan ( atau gabungan jabatan-jabatan ) itu merupakan suatu personifikasi.
Logemann : “bestendigheid” beberapan kewajiban tertentu. Tetapi agar hak-kewajiban itu dapat dijalankan, maka jabatan itu memerlukan perwakilan. Perwakilan itu oenjabat ( ambtsdrager ). Pejabat itu manusia. Jadi, pada hakekatnya realitas biasa ! Kehendak administrasi negara itu kehendak manusia, yakni kehendak pejabat yang bertugas menjalankan peraturan ( Bohtlingk ). Oleh karena dalam hal ketetapan jugalah manusia yang berbuat, maka ditinjau dari sudut tertentu pada hakekatnya antara ketetapan dan perbuatan hukum privat tidak ada perbedaan asasi.
Bentuk ketetapan itu ada dua macam, yaitu :
  1. Ketetapan  dikeluarkan secara lisan ( mondelinge beschikking )
Pada umumnya ada dua hal suatu ketetapan dikeluarkan secara lisan :
a.       Dalam hal yang tidak membawa akibat kekal dan yang tidak begitu penting bagi administrasi negara, sehingga tidak diperlukan suatu ketetapan tertulis.
b.      Dalam hal bilamana oleh yang mengeluarkan suatu ketetapan dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan segera.

  1. Ketetapan dikeluarkan secara tertulis ( schriftelijke atau geschreven beschikking ).
Bentuk tertulis ketetapan itu bermacam-macam. Berbagai macam bentuk itu oleh karena ada bermacam-macam alat negara yang membuat ketetapan.
-          Ketetapan yang dibuat oleh menteri diberi nama : keputusan menteri
-          Ketetapan yang dibuat oleh kepala jawatan diberi nama : keputusan kepala jawatan.
-          Ketetapan yang dibuat oleh pemerintah ( Presiden yang dibantu oleh Menteri ) bersama-sama dengan DPR diberi nama : undang-undang      ( undang-undang yang memuat ketetapan adalah suatu undang-undang formil saja ).

*                  Kranenburg Vegting menyebut empat hal suatu alat negara memberi kepada ketetapan  suatu isi yang menurut  peraturan yang bersangkutan ( peraturan yang menjadi dasar ketetapan itu ) sebenarnya tidak dapat diberi kepada ketetapan itu :
    1. Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa hukum atau peristiwa yang bukan peristiwa hukum ( juridische atau feitelijke omstandigheid ) yang menurut peraturan yang bersangkutan harus ada agar ketetapan itu dapat dibuat sekali-kali tidak ada. Dalam hal ini demikian alasan untuk membuat ketetapan itu sebenarnya tidak ada      ( tidak ada alasan, geen oorzaak ).
    2. Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa-peristiwa disebut dalam ketetapan itu dan yang menurut peraturan yang bersangkutan adalah benar, sebetulnya alasan-alasan bagi pembuatan suatu ketetapan lain dari pada ketetapan yang telah dibuat. Dalam hal demikian suatu alasan salah ( valse oorzaak ) menjadi dasar suatu ketetapan.
    3. Suatu alat negara membuat ketetapan yang menurut peraturan yang bersangkutan adalah benar, tetapi persitiwa-peristiwa yang disebut sebetulnya tidak dapat menjadi alasannya. Peristiwa-peristiwa lain dari pada yang disebut, seharusnya menjadi alasannya. Dalam hal demikian dibuat suatu ketetapan berdasarkan alasan-alasan yang tidak dapat dipakai. ( ongeoorloofde oorzaak ).
    4. Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi alat negara itu tidak menggunakan wewenangnya secara yang sesuai dengan tujuan yang telah diberi oleh peraturan yang bersangkutan kepada wewenang itu. Dalam hal demikian alat negara yang membuat ketetapan, menggunakan wewenangnya secara yang tidak sesuai dengan tujuan kekuasaan itu, dan salah menggunakan wewenang itu diberi nama istimewa yang berasal dari bahasa Perancis, yaitu, detournement de pouvoir.

Detournement de pouvoir itu terjadi bilamana alat negara menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar wewenang itu.
Detournement de pouvoir artinya “pemindahan kekuasaan” yang berarti, “menjungkir balikkan kekuasaan”, dalam bahasa Belanda “afwenteling van macht”.

Paragraf 4 : Kekuasaan hukum ( rechtskracht ) dari ketetapan sah
            Setelah pembatalan atau penarikan kembali, maka ketetapan itu tidak lagi mempunyai akibat, karena tidak ada lagi. Bahkan, ada juga ketetapan yang tidak mengandung kekurangan yuridis – ketetapan yang “sempurna”- yang berlaku sah hanya untuk sementara waktu saja. Alat negara yang wajib mengadakan bandingan tidak hanya menyelidiki yuridis sempurna tidaknya sesuatu ketetapan, tetapi alat tersebut dapat juga mempertimbangkan bijaksana tidaknya pembuatan ketetapan itu    ( mempertimbangkan “doelmatigheid”. Kadang-kadang juga suatu ketetapan yang tidak mengandung kekuarangan yuridis, dibatalkan atau ditarik kembali, karena pembuatannya telah ternyata tidak bijaksana. Jadi, belum tentulah, suatu ketetapan yang tidak mengandung kekurangan yuridis mempunyai kekuasaan yang definitif       ( definiticve rechtskracht ) ; melainkan ada banyak ketetapan semacam ini yang mempunyai kekuasaan hukum hanya untuk sementara waktu saja, yaitu sah selama belum ditarik kembali atau dibatalkan.
Kesimpulan : bahwa hanya suatu ketetapan yang sah mendapat kekuasaan hukum.
Kesimpulan ( menurut buku Dr. Stellinga ), dapat ditarik kesimpulan bahwa “sah” itu berarti tidak lain daripada : perbuatan pemerintah yang bersangkutan dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum umum ( als een onderdeel van de algemene rechtsorde ). “Sah” itu tidak menggunakan sesuatu tentang isi atau kekurangan dalam suatu perbuatan pemerintah, melainkan, hanya berarti : diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti. Oleh karena “diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti” (“diterima sebagai bagian dari ketertiban hukum umum”) maka perbuatan pemerintah itu mempunyai “kekuasaan hukum”, yaitu dapat mempengaruhi ketertiban hukum itu”. Sebelum dinyatakan “sah”, maka perbuatan pemerintah itu belum mempunyai “kekuasaan hukum”, jadi, belum dapat mempengaruhi ketertiban hukum yang berlaku ( geldende rechtsorde ).

*      Perbedaan antara dua pengertian “kekuasaan hukum”, yaitu :
  1. Kekuasaan hukum formil ( formele rechtskracht )
Yang dimaksud dengan “kekuasaan hukum formil” suatu ketetapan sah adalah pengaruh yang dapat dilakukan oleh karena adanya ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai “kekuasaan hukum formil”, bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat-hukum ( rechtsmiddel ).
Contoh : suatu alat negara tertentu membuat suatu ketetapan. Sebelum dapat berlaku maka ketetapan ini memerlukan persetujuan dari suatu alat negara yang lebih tinggi. Setelah mendapat persetujuan itu, maka barulah ketetapan tersebut mempunyai kekuasaan hukum.

Kraneburg Vegting menyebut empat alat hukum yang dapat digunakan oleh yang dikenai sesuatu ketetapan untuk membantah ketetapan itu :
·         Yang dikenai suatu ketetapan dapat memohon pembatalan ketetapan itu, yakni dalam hal kemungkinan untuk memohon bandingan diberi kepadanya.
·         Yang dikenai suatu ketetapan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah ( atau kepada suatu alat negara yang lain yang berwenang ) supaya ketetapan itu dibatalkan ( pembatalan yang diadakan diluar suatu bandingan ).
·         Yang dikenai suatu ketetapan dapat mengajukan soalnya kepada hakim biasa sehingga ketetapan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.
·         Yang dikenai suatu ketetapan tidak menyelenggarakan apa yang dicantumkan dalam ketetapan itu, dan setelah perkara yang bersangkutan dibawa muka hakim, maka diusahakannya supaya hakim itu menyatakan ketetapan tersebut batal karena bertentangan dengan hukum.

  1. Kekuasaan hukum materiil ( materiele rechtskracht )
Yang dimaksud dengan “kekuasaan hukum materiil” suatu ketetapan adalah pengaruh yang dapat dilakukan oleh isi ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai “kekuasaan hukum materiil”, bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.

Ø    Donner beranggapan bahwa apabila perlu pada asasnya ( in beginsel ) tiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya. Oleh karena ketetapan itu suatu perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan pemerintah, maka kemudian ketetapan itu dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya dengan tidak perlu ada persetujuan dari yang dikenainya ( eenzijdig ).

Ø  Kranenburg Vegting diragu-ragukan apakah asas : tiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya apabila perlu, itu benar. Juga alasan Donner mengenai kemerdekaan kembali, yaitu oleh karena ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu, itulah kurang tepat. Yang menjadi alasan alasan menarik kembali suatu ketetapan adalah sifat dan corak akibat hukum yang ditimbulkan oleh isi ketetapan itu dan yang ditimbulkan oleh peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Ø  Prins dapat menyetujui kemerdekaan menarik kembali suatu ketetapan oleh alat negara yang membuat ketetapan itu, tetapi kemerdekaan tersebut harus sesuai dengan ( dibatasi oleh ) “ de eisen van de verkeerstrouw” ( kepercayaan baik yang seharusnya ada antara fihak suatu pergaulan hukum). Pemerintah yaitu pemerintah suatu negara hukum tidak dapat menarik kembali suatu ketetapan bilamana menarik kembali suatu ketetapan yang telah dibuat, harus diperhatikan enam buah asas-asas ( terkecuali kalau undang-undang dengan tegas melaranga menarik kembali itu ) :
  1. Suatu ketetapan yang dibuat karena yang bersangkutan menggunakan tipuan senantiasa dapat ditiadakan ab ovo ( = dari permulaan tidak ada ).
  2. Suatu ketetapan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan jadi, suatu ketetapan yang belum menjadi suatu perbuatan yang sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, dapat ditiadakan ab ovo.
  3. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberi kepada yang dikenai itu dengan beberapa syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu.
  4. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali setelah sesuatu jangka tertentu ( sudah ) liwat, bilamana oleh karena menarik kembali tersebut, suatu keadaan yang layak dibawah kekuasaam ketetapan yang bermanfaat itu ( setelah adanya menarik kembali tersebut ) menjadi keadaan yang tidak layak.
  5. Oleh karena suatu ketetapan tidak benar, diadakan suatu keadaan yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan, bilamana menarik kembali ketetapan yang bersangkutan membawa bagi yang dikenainya suatu kerugian yang sangat lebih besar daripada kerugian yang oleh negara diderita karena keadaan yang tidak layak tersebut.
  6. Menarik kembali atau mengubah suatu ketetapan, harus ditentukan menurut acara ( formalitas ) yang sama sebagai yang ditentukan bagi membuat ketetapan itu ( asas : contraries actus )

Paragraf 5 : Macam Ketetapan
  1. Ketetapan yang positif dan ketetapan yang negative
Suatu ketetapan yang untuk dikenainya menimbulkan hak atau/dan kewajiban adalah suatu ketetapan positif. Tiap ketetapan yang positif menimbulkan suatu keadaan hukum ( rechtssituatie ) yang baru. Juga suatu ketetapan yang membatalkan suatu ketetapan yang lama adalah suatu ketetapan yang positif, karena disini suatu keadaan hukum yang lama diganti oleh suatu keadaan hukum yang baru ( yang timbul oleh sebab ketetapan yang lama dibatalkan ).
  1. Ketetapan yang deklaratur ( declaratoir ) dan ketetapan konstitutif            ( constitutief )
Ketetapan yang deklaratur ( declaratoir ), yakni suatu ketetapan yang hanya menyatakan yang bersangkutan dapat diberi haknya.
Ketetapan yang memberi istirahat karena “alasan penting” bersifat konstitutif   ( constitutief ), yakni membuat hak ( recht scheppend ).
  1. Ketetapan yang kilat ( “vluchtig”) dan ketetapan yang tetap (“blijvend”)
Oleh Prins disebut ada empat macam ketetapan yang kilat :
  1. suatu ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi ( tekst ) suatu ketetapan yang lama.
  2. Suatu ketetapan yang negative. Ketetapan semacam ini hanya membuat suatu keputusan yang bermaksud tidak mengadakan sesuatu, dan ketetapan semacam ini bukan halangan bagi administrasi negara untuk pada hari kemudian masih juga bertindak, bilaman keadaan atau pendapat administrasi negara itu telah berubah.
  3. Suatu menarik kembali atau suatu pembatalan. Seperti suatu ketetapan yang negatif maka suatu ketetapan semacam inipun tidak membawa suatu hasil yang positif, dan suatu ketetapan inipun bukan halangan bagi administrasi negara untuk mengadakan suatu ketetapan lain yang sama ( identik ) dengan ketetapan yang ditarik kembali atau yang dibatalkan.
  4. Suatu pernyataan pelaksanaan ( uitvoorbaarverklaring ).

  1. Dispensasi ( dispensatie ), izin ( vergunning ), lisensi ( licentie ) dan konsesi ( concessie ).
Disepensasi adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu.
Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenakannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit ( sikap pembuat peraturan “indifferent” ), maka keputusan administrasi negara yang memperkenakan perbuatan tersebut bersifat suatu izin ( vergunning ).
Kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat diadakan oleh suatu subyek hukum parikelir, tetapi dengan turut campur dari pihak pemerintah. Suatau keputusan administrasi negara yang memperkenakan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut, membuat suatu konsesi ( concessie ).

Sifat hukum ( rechtskarakter ) dari suatu izin dan suatu konsesi
            Menurut Kraneburg-Vegting di Negeri Belanda ada aliran yang agak kuat yang hendak melihat izin itu sebagai suatu perbuatan hukum yang bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah, sedangkan konsesi adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi dua, yakni suatu perjanjian yang diadakan antara yang memberi konsesi dan yang diberi konsesi ( concessionaris ).
            Menurut Van der Pot dalam hal izin tidak mungkin diadakan suatu perjanjian oleh karena tidak mungkin diadakan suatu penyesuaian kehendak. Konsesi biasanya diadakan suatu perjanjian, yakni suatu perjanjian yang mempunyai sifat sendiri dan yang tidak diatur oleh seluruh peraturan-peraturan KUHPerdata mengenai hukum perjanjian.
Istilah Lisensi semestinya digunakan untuk menyatakan suatu izin yang memperkenakan yang bersangkutan menjalankan suatu perusahaan. Jadi, lisensi itu suatu izin untuk menjalankan suatu perusahaan ( suatu macam izin yang “istimewa” ).


Tag search :
makalah hukum pemerintahan desa
makalah hukum pemerintahan islam
makalah hakikat pemerintahan
makalah gejala pemerintahan
makalah filsafat pemerintahan
makalah fungsi pemerintahan
makalah fenomena pemerintahan
makalah fungsi pemerintah
makalah fungsi pemerintah daerah
makalah pemerintahan desa
makalah pemerintahan daerah
makalah pemerintahan desa dan kelurahan
makalah pemerintahan daerah di indonesia
contoh makalah pemerintahan daerah
contoh makalah pemerintahan
contoh makalah pemerintahan yang baik
makalah pemerintahan banten
makalah pemerintah bersih
makalah birokrasi pemerintahan
makalah asas pemerintahan yang baik

makalah anggaran pemerintahan