Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

HUKUM PENITENSIER Peraturan-Peraturan Positif Mengenai Sistem Hukuman ( Straaftstelsel ) dan Sistem Tindakan ( matregelstelsel ).

HUKUM PENITENSIER

Hukum Penitensier adalah segala peraturan-peraturan positif mengenai sistem hukuman ( Straaftstelsel ) dan sistem tindakan ( matregelstelsel ).

Hukum penitensier ini merupakan sebagian dari hukum pidana positif, yaitu bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi itu, lamanya sanksi itu dirasai oleh pelanggar dan cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan. Sanksi itu hukuman maupun tindakan merupakan satu sistem, dan sistem inilah yang dipelajari oleh ( ilmu ) hukum penitensier.

Seperti yang telah diketahui, sanksi itu tidak hanya ditentukan dalam KUHP pidana-titel II dari Buku I KUHPidana, melainkan juga dalam beberapa peraturan perundang-undangan lain ditentukan sanksi atas pelanggaran. Tetapi peninjauan atas hukum penintesier dalam buku ini dititik beratkan pada sistem hukuman serta sistem tindakan yang ditentukan dalam KUHPidana, yaitu dititik beratkan pada hukum penitensier umum sebagai bagian dari hukum pidana umum ( commune straftrecht ).

Sifat hukum penitensier yang ditentukan dalam KUH Pidana karena pembuatan Wetboek van Straftrecht tahun 1915 dalam menentukan hukum penitensier-nya pasal-pasal 10 djb telah mengikuti dalam garis besar hukum penitensier yang tercantum dalam Straftwetboek tahun 1881 di negeri Belanda – Pasal-pasal 9 djb, dan hal ini sesuai dengan asas konkordansi yang dipertahankan oleh pemerintah Belanda dahulu - , maka pentinglah orang memperhatikan pula apa yang dikemukakan tentang sifat hukum penitensier di negeri Belanda, sebagian dalam garis besarnya mengenai pula hukum penitensier yang ditentukan dalam wetboek van straftrecht tahun 1915 dan KUHPidana sekarang.

Sistem hukuman yang disusun oleh pembuat Straftwetboek tahun 1881 di negeri Belanda bersifat “groote eenvoudigheid, zeker on zich zelve groot voordeel. Hoe minder straffen toch, hoe gemakkelijker haar onderlinge vergelijking; en zonder zoodanige vergelijking is geen toebedeling van de straf in juiste verhouding tot de betrekkelijke zwaarte der misdrijven mogelijk.” – Kesederhanaan besar, yang sudah pasti menjadi keuntungan besar. Sudah tentulah makin kurang jumlahnya hukuman-hukuman makin mudah membandingkan hukuman-hukuman itu yang satu terhadap yang lain. Perbandingan ini adalah perlu supaya orang dapat menetapkan hukuman yang beratnya sesuai dengan beratnya kejahatan yang telah dilakukan. POMPE mengemukakan bahwa pada saat disusunnya Straaftwetboek rupanya teori pembalasan ( werking der vergelding ) masih menguasai pikiran penyusun sistem hukuman. Kesederhanaan sisitem hukuman yang disusun pada tahun 1881 itu dibuktikan dengan adanya dua jenis hukuman saja, yaitu hukuman utama (hoofdstraf) dan hukuman tambahan ( bijkomendestraft ) dan hukuman tambahan itu hanya dapat ditetapkan bersama-sama dengan satu hukuman utama. Selanjutnya hukuman utama itu hanya tiga jenis saja, yakni dua jenis hukuman atas kebebasan manusia                   ( vrijheidstraft ) – pasal 9 ayat 1 sub a 1O dan 2O – dan satu hukuman atas kekayaan    ( vermogenstraft ) – ketentuan yang sama 3O. Hukuman tambahan, yang kurang penting jika dibandingkan dengan hukuman utama, terdiri atas empat jenis, yaitu satu hukuman atas kebebasan manusia – ketentuan yang sama sub b 2O-, satu hukuman atas kekayaan ketentuan yang sama 3O- dan jenis lain lagi ketentuan yang sama 1O dan 4O.

Dalam perkembangan sejak mulai berlakunya pada tahun 1886, hukum penitensier yang tercantum dalam Strafwetboek itu telah kehilangan sifat sederhana. 

Beberapa perubahan dalam Strafwetboek sejak tahun 1886 telah menjadikan hukum penitensier dalam Strafwetboek itu satu sistem yang tidak sederhana lagi. Perubahan-perubahan tersebut diadakan karena dorongan pendapat-pendapat tentang yang telah berubah sekali. Satu ilmu yang muda, yaitu psychologi, telah sangat mempengaruhi perkembangan lebih lanjut sistem hukuman di negeri Belanda itu sehingga pada akhirnya prinsip-prinsip yang diterima pada waktu pembuatan Strafwetboek, ditinggalkan sama sekali. Makin lama makin orang yakin bahwa hukuman yang hendak ditetapkan itu harus sesuai dengan kepribadian pelanggar. Prinsip lama bahwa hukuman harus sesuai dengan delik yang dilakukan, tidak dapat diterima lagi. Dalam kriminologi telah diperkembangkan dengan pesat sekali satu cabang yang mempelajari persoalan ini yaitu penologi. Tetapi biarpun penologi itu penting sekali untuk pelajaran tentang sistem hukuman dan sistem tindakan ( hukum penintensier ) masih juga penologi itu tidak dapat dibicarakan dalam buku ini. VAN HATTUM mengatakan bahwa, “Daartoe zou een zelfstandig werk van grote omvang nodig zijn”. Publikasi yang paling akhir : KORN dan McCORKLE Criminology and Penology, 1961. Masih penting : HERMAN MANHEIM The Delemma of Penal Reform, 1939, dan Criminal Justice and Social Reconstruction, 1949.

POMPE mengumakan bahwa perubahan-perubahan dalam Strafwetboek sejak tahun 1886 itu menjadi akibat makin lama makin besar pengaruhnya pelajaran prevensi khusus ( speciale preventie ) terutama pelajaran mengenai memperbaiki manusia yang telah melanggar. Tanpa sifat pembalasan dari hukuman itu dihilangkan, masih juga tujuan sistem hukuman itu makin lama makin diarahkan ke jurusan memperbaiki kepribadian pelanggar, sehingga ia dapat disalurkan kembali ke dalam masyarakat sebagai manusia yang berguna . Aliran yang baru ini mengakibatkan apa yang dinamakan individualisasi dari hukuman berhubung dengan kepribadian masing-masing penjahat sebagai individu. Kepada hakim diberi kebebasan lebih besar dalam menetapkan hukuman ; demikian juga kepada administrasi diberi kelonggaran lebih besar dalam melaksanakan yang telah ditetapkan itu. Kebebasan serta kelonggaran ini lebih banyak memungkinkan hakim dan administrasi masing-masing untuk menetapkan dan melaksanakan hukuman yang sesuai dengan kepribadian khusus tiap-tiap penjahat. Kebebasan dan kelonggaran ini diwujudkan dalam dua lembaga hukum pidana, yaitu yang dimasukan ke dalam Strafwetboek pada tahun 1915 – pasal-pasal 14a djb. – dan pelepasan bersyarat ( voorwaardelijke invrijheidstelling ) – pasal-pasal 15 djb. – yang pada tahun 1915 diperluas dan dalam Geldboetwet tahun 1925 – sekarang pasal 24 Straftwetboek.

Penambahan Straftwetboek tersebut diatas ini disusul oleh diadakannya diferensiasi dalam sistem hukuman menurut golongan-golongan penjahat. Pada tahun 1901 ditentukan jenis-jenis tersendiri hukuman bagi mereka yang masih dibawah umur – pasal 9 ayat 2. 

Segala penambahan dan perubahan tersebut diatas ini, yang menjadikan hukum penitensier makin lama makin berbelit-belit, tetapi juga mengharuskannya diadakan dengan maksud satu-satunya supaya, “iedere misdadiger dietherapie krijge, die hij behoeft.”

Di samping individualisasi dari hukuman serta diadakannya diferensiasi dalam sistem hukuman itu, maka juga penyaluran kembali dari yang terhukum ke dalam masyarakat disempurnakan antara lain dengan mengadakan lembaga hukum penitensier reclassering, yaitu pendidikan dari yang terhukum diluar penjara dan tempat kurungan lain dalam masyarakat sendiri yang akan menerima kembali yang terhukum itu.

Pada tahun 1946 di wilayah Republik Indonesia, proklamasi WvS tahun 1915 disesuaikan sebanyak mungkin dengan keadaan yang seharusnya di suatu negara nasional. Beberapa ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan keadaan di negara nasional Indonesia karena bersifat kolonial, dicabut berdasarkan Undang-Undang RI 1946 Nr.1, berita RI tahun II Nr 9 ( 15 Maret 1946 ), kemudian pasal 10 KUHPidana tahun 1946 ini menurut Undang-Undang RI 1946 Nr 20, berita RI tahun II Nr 24 ( 1 dan 15 November 1946 ), ditambah dengan satu jenis hukuman utama lagi yaitu hukuman tutupan, sehingga hukuman utama itu sekarang mempunyai lima jenis ( dua jenis lebih banyak dari pada jenis hukuman utama yang tercantum dalam Straftwetboek di negeri Belanda ). 

Hukuman-hukuman utama menurut KUHPidana – Pasal 10 sub a menyebut jenis-jenis hukuaman utama yaitu :

Hukuman mati
Pembuat WvS dahulu hanya menentukan hukuman mati itu bagi kejahatan-kejahatan yang paling berat, yaitu :
  • Kejahatan-kejahatan berat terhadap keamanan negara – pasal-pasal 104, 105, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129 ( dalam KUHPidana pasal 105 telah dihapuskan ).
  • Pembunuhan – pasal-pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3, 340 ( dalam KUHPidana pasal 130 itu telah dihapuskan ).
  • Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dengan dipenuhi syarat-syarat              ( faktor-faktor yang memberatkan ) yang disebut dalam pasal-pasal 365 ayat 4 dan 368 ayat 2.
  • Pembajakan laut, pembajakan di tepi laut atau pantai dan pembajakan di sungai yang dilakukan dengan dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam pasal 444.
Dalam melaksanakan hukuman mati harus diperhatikan pula pasal 370 RIB  ( HIR, pasal 370 IR dahulu, juga pasal 400 Straftvordering ) yang menentukan bahwa,, 
  • Hukuman mati tidak boleh dijalankan pada orang yang sesudah dihukum, menjadi gila dan keadaan itu diakui oleh hakim yang menjatuhkan keputusan itu. 
  • Demikian juga hukuman mati tidak boleh dijalankan pada seorang perempuan yang hamil. 
  • Dalam hal pertama menjalankan hukuman mati dipertangguhkan sehingga orang gila itu sembuh, dan dalam hal kedua sehingga perempuan hamil itu beranak. 
Bahwasanya hukuman mati itu tidak dapat ditetapkan dengan begitu saja dan tidak dapat dilaksanakan dengan begitu saja – jadi, betul-betul merupakan satu noodrecht – itulah ternyata dari perlunya dipenuhi beberapa syarat-syarat lain lagi sebelum hakim dapat menetapakan hukuman mati atau jaksa dapat melaksanakannya.

Hukuman Penjara
Mengenai lamanya hukuman penjara itu, pasal 12 memuat beberapa ketentuan. Ayat 1 menentukan bahwa hukuman penjara itu seumur hidup atau sementara. 
Ayat 2 menentukan minimum ataupun maksimum hukuman penjara sementara, yaitu minimum berjumlah satu hari ( sekurang-kurangnya satu hari ) dan maksimum berjumlah lima belas tahun ( selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut ). Tetapi maksimum lima belas tahun ini dapat dilampaui dan dipertinggi sampai dua puluh tahun jumlah dua puluh tahun ini merupakan batas yang paling tinggi dan mutlak ( ayat 4 : lamanya hukuman penjara sementara itu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun ). – dalam hal-hal berikut – ayat 3 - :
  • Diancam atas kejahatan ……..hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penjara sementara……. Atas pilihan yang terserah pada hakim.
  • Diancamkan atas kejahatan………hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara…….atas pilihan yang terserah kepada hakim.
  • Sebab tambahan hukuman, karena gabungan kejahatan-kejahatan, ulangan kejahatan atau ketentuan pada pasal 52.
Alasan-alasan yang disebut diatas ini adalah alasan-alasan umum untuk mempertinggi lamanya hukuman. Disamping alasan-alasan umum ini ada pula alasan khusus misalnya pasal 347 ayat 2 jo pasal 349 KUHPidana. 
Di dunia barat telah diadakan beberapa sistem penjara ( gevangenisstelsel ). Yang terkenal adalah :

Sistem Pensylvania
Adalah sistem pensylvania dipraktekkan di negara bagian Amerika Serikat Pennsylvania di sebuah penjara ( The Prison at Philadelphia Cherry Hill – TEETERS dan SHEARER The Prison at Philadelphia : Cherry Hill, 1957 ) yang mulai dipakai pada tahun 1829. Hukuman dijalani secara terasing dalam sebuah sel yang dihukum itu hanya dapat berkontak dengan penjaga sel. Diharapkan bahwa yang terhukum sebagai akibat “unremitted solitude” ini akan insyaf atas dosanya dan akan dapat memperkokoh daya menolak tiap pengaruh yang jahat. Kemudian ternyata bahwa sistem ini tidak membawa apa yang diharapkan oleh konseptornya, dan oleh sebab itu dalam sistem ini diadakan peringanan, yaitu yang terhukum diperkenankan melakukan sejenis pekerjaan tangan dan secara terbatas menerima tamu. Tetapi tetap ia dilarang bergaul dengan orang-orang yang dihukum yang lainnya.

Sistem Auburn
Sistem Auburn ini pada permulaannya dipraktekan di sebuah penjara di kota Auburn, di negara bagian Amerika Serikat New York, dan kemudian dipraktekkan di penjara yang terkenal Sing-Sing. BARNES dan TEETERS       ( New Horizon in Criminology ) menyebut sistem Auburn ini, “The direct antithesis of the separate system of Pennsylvania”. Hanya pada waktu malam saja yang dihukum itu diasingkan ditutup sendirian di sebuah sel. Pada siang hari ia bekerja bersama-sama dengan orang-orang yang dihukum yang lainnya, tetapi orang-orang yang dihukum itu dilarang keras bicara dengan yang satu dan yang lain. Oleh sebab itu sistem ini juga dikenal dengan nama “Silent System”. Sudah tentu sistem ini dalam praktek sukar sekali dipertahankan karena perintah untuk tidak bicara itu sangat bertentangan dengan tabiat manusia. 

Sistem Irlandia
Sistem Irlandia berasal dari Mark System. Yang diketemukan oleh Colonel Angkatan Laut Inggris MACONOCHIE pada waktu perwira tersebut menjadi pemimpin penjara ( koloni orang yang terhukum ) di pulau Norfolk yang letaknya 1000 mil laut dari pantai Australia ( BARRY, Alexander Maconochie of Norfolk Island, 1958 ). Kemudian sesudah mengalami perubahan kecil Mark System ini terkenal dengan nama sistem Irlandia ( Irish System ). Sistem Irlandia tersebut bersifat progresif yaitu pada permulaan dijalani maka hukuman penjara itu dijalankan secara keras. Tetapi kemudian sesudah kelihatan bahwa yang terhukum itu berkelakuan baik, maka secara berangsur-angsur dijalankannya hukuman penjara itu diringankan. Maksudnya ialah melatih yang terhukum menjadi kembali seorang anggota masyarakat yang baik. Mark System dan sistem Irlandia ini melahirkan “The Rise of The Reformatory “. 

Sesuai dengan usaha reformasi ( = perbaikan ( dari yang terhukum ) itu maka hukuman penjara menurut sistem Irlandia tersebut dijalani melalui tiga tingkatan, yaitu :

x. tingkatan pertama – probation : yang dihukum diasingkan dalam sebuah sel malam dan siang hari selama delapan atau sembilan bulan sampai satu tahun. Lamanya pengasingan di sel itu bergantung pada kelakuan yang terhukum.
y. tingkatan kedua – tingakatan public work prison - : yang dihukum dipindahkan kesatu penjara lain dan di penjara lain itu ia diwajibkan bekerja bersama-sama dengan orang-orang yang dihukum lainnya. Biasanya orang-orang yang dihukum itu dalam penjara ini dibagi dalam empat kelas. Yang dihukum mulai dari kelas yang terendah dan secara berangsur-angsur dinaikkan ke kelas-kelas yang lebih tinggi sesudah ia peroleh beberapa “tanda baik” – mark system.
z. tingkatan ketiga – ticket of leave – yang dihukum dibebaskan dengan perjanjian dari kewajiban untuk menjalani sisa waktu lamanya hukumannya. Ia diberi satu tiket tetapi selama masa sisa waktu lamanya hukumannya itu, ia masih di bawah pengawasan. 

Sistem Elmira dan Borstal
Lahirnya sistem Elmira sangat dipengaruhi oleh dijalankannya sistem Irlandia di Irlandia dan negeri Inggris. Pada tahun 1876 di kota Elmira, di negara bagian Amerika Serikat, New York, didirikan sebuah penjara bagi orang-orang yang terhukum yang umurnya tidak lebih dari pada 30 tahun. Penjara ini diberi nama “reformatory”, yaitu tempat untuk memperbaiki orang menjadikannya kembali seorang anggota masyarakat yang berguna. Sistem penjara di Elmira pada prinsipnya sama dengan sistem Irlandia yaitu pada prinsipnya hukuman penjara dijalani tiga tingkatan, tetapi dengan titik berat yang lebih besar lagi pada usaha memperbaiki yang terhukum itu : kepada yang terhukum diberi pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai akibat diadakannya sistem tersebut, maka kemudian dalam keputusan hakim pidana tidak lagi ditentukan lamanya hukuman penjara yang bersangkutan. Lamanya yang terhukum dalam penjara, sampai kepadanya diberi “parole”, semata-mata tergantung pada kelakukan yang terhukum sendiri dalam penjara itu. 
Sistem Elmira ini tidak hanya meluas di Amerika Serikat, juga di Eropa Barat sistem Elmira ini mendapat perhatian besar. Pada tahun 1902 didirikan suatu reformatory di kota Borstal yaitu satu kota kecil yang letaknya dekat pada kota London. Sistem yang diterima di penjara Borstal adalah sebagai berikut : Lamanya hukuman penjara ditetapkan oleh pengadilan, akan tetapi Menteri Kehakiman diberi wewenang untuk melepaskan dengan perjanjian yang terhukum itu. Misalnya dalam hal orang yang dihukum penjara sampai 3 tahun, wewenang tersebut oleh Menteri Kehakiman telah dapat dijalankan sesudah yang dihukum baru saja menjalani enam bulan dari masa hukumannya.
Sistem Borstal ini juga diterima di salah satu penjara di Indonesia yaitu di penjara untuk orang-orang muda yang berumur dibawah 19 tahun yang didirikan pada tahun 1927 di tanah tinggi dekat kota Tangerang.

Sistem Osborne
Sistem Osborne ini diketemukan oleh THOMAS MOTT OSBORNE, dua kali wali kota Auburn dan kemudian direktur penjara yang terkenal Sing-Sing di negara bagian Amerika Serikat, New York. Sistem Osborne ini memberi “self-government” atas bagian dan dari yang terhukum di dalam penjara.
Sistem penjara di Indonesia tidak ditundukan pada asas konkordinasi, yaitu berbeda dalam beberapa hal prinsipil dari sistem penjara di negeri Belanda.

Pertama, menurut hukum penintensier di negeri Belanda – maka hukuman penjara yang lamanya lima tahun atau kurang harus dijalani sendirian dalam sebuah sel siang hari dan malam. Yang dihukum penjara lebih daripada lima tahun, misalnya tujuh tahun harus menjalani lima tahun yang pertama secara ditutup sendirian dalam sebuah sel dan sesudah itu selama masa sisa dua tahun hukumannya dapat dijalani bersama-sama, yaitu ia dapat bergaul dengan orang-orang yang dihukum yang lain. Pada tahun 1929 diadakan peringanan dari sistem sel ini, yaitu dalam melaksanakan beberapa tujuan khusus seperti latihan jasmani, mengikuti tugas agama di gereja penjara, mengikuti kursus     ( pengajaran ), melaksanakan pekerjaan, orang-orang yang terhukum itu dapat berkumpul.

Untuk Indonesia, oleh pembuat WvS sistem sel itu ditolak sebagai alasan-alasan dikemukakan : Di satu daerah yang beriklim panas tempat orang membiasakan diri bekerja di luar rumah atau gedung, sudah pasti orang itu tidak akan bertahan lama – ia akan menjadi sakit dan meninggal dunia – apabila ditutup bertahun-tahun dalam sebuah sel. Jadi, hukuman penjara di Indonesia selalu dijalani bersama-sama. Yang dihukum hanya dapat ditutup sendirian dalam sebuah sel siang hari dan malam sebagai hukuman disipliner yang lamanya tidak boleh dari delapan hari ( Pasal 69 Gestichtenreglement ).
Tetapi biarpun Indonesia hukuman penjara dijalani bersama-sama masih juga menurut pasal 36 ayat 1, diadakan pemisahan mutlak ( “worden steeds ten strengste afgezonderd” ) antara :

1. Lelaki dan perempuan.
2. Orang dewasa dan anak di bawah 16 tahun.
3. Yang terhukum dan yang ditahan tidak karena hukuman ( misalnya yang ditahan preventif ).
4. Orang militer dan orang preman ( sipil ).

Sebagai satu perbedaan kedua antara sistem penjara di negeri Belanda dan sistem penjara di Indonesia dapat disebut hal di negeri Belanda hukuman penjara itu selalu disebut hal di negeri Belanda hukuman penjara itu selalu dijalani dalam tembok penjara, sedangkan pasal 24 KUHPidana menentukan bahwa “orang hukuman penjara dan orang hukuman kurungan boleh diwajibkan bekerja, baik didalam maupun diluar tembok penjara tempat orang hukuman”. Ada golongan yang terhukum yang dapat diperkecualikan dari kewajiban bekerja diluar tembok penjara, yaitu – menurut pasal 25 – “1e. Orang hukuman seumur hidup ; 2e. Perempuan ; 3e. Orang hukuman yang menurut pemeriksaan dokter nyata tidak kuat badannya untuk pekerjaan itu”. Dan – menurut pasal 26 – “jika menurut timbangan hakim berhubung dengan keadaan diri dan kedudukan masyarakat si-terhukum itu ada alasannya, maka ditentukan dengan keputusan hakim bahwa orang itu tidak diwajibkan bekerja di luar tembok penjara tempat orang hukuman”.
Pekerjaan yang dapat dilakukan yang terhukum di luar tembok penjara meliputi antara lain, mengikuti ekspedisi militer, dipekerjakan di tambang batu bara atau tambang lain, dipekerjakan umum ( seperti pembangunan ) yang besar, dipekerjakan perkebunan, di peternakan dan disuruh membuka hutan, dipekerjakan di perusahaan karet di Nusa Kambangan. Juga dalam tembok penjara dapat dilakukan pekerjaan, yang dapat meliputi antara lain memintal, menenun, menjahit membuat sepatu, tas dan barang-barang lain dari kulit, dipekerjakan di bengkel besi dalam penjara, dan di percetakan dalam penjara. 

Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan adalah lebih ringan daripada hukuman penjara. Hal ini terang kelihatan dari pasal 10 jo pasal 69 ayat 1. Ketentuan yang disebut kedua ini menyatakan bahwa “perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan menurut aturan pasal 10”, dan dalam urutan hukuman pokok yang dicantumkan dalam pasal 10 itu memang hukuman kurungan ditempatkan di bawah sesudah hukuman penjara. 

Bahwasanya hukuman kurungan itu lebih ringan daripada hukuman penjara, itulah juga kelihatan dari hal maksimum-maksimum hukuman kurungan itu amat lebih pendek daripada maksimum hukuman penjara. Seperti halnya dengan hukuman penjara maka juga bagi hukuman kurungan oleh pembuat Undang-Undang pidana ditentukan satu minimum umum dan satu maksimum umum. Ayat 1 pasal 18 menentukan bahwa “boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun”. Dalam beberapa hal maksimum satu tahun ini dapat dilampaui. Ayat 2 pasal 18 menentukan bahwa hukuman kurungan “boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan……….karena ada gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan pada pasal 52”. Di samping maksimum umum ini masih ada maksimum khusus yang ditentukan sendiri. Tetapi juga maksimum khusus hukuman kurungan ini adalah lebih ringan daripada maksimum khusus hukuman penjara.

Kelihatan lagi bahwa hukuman kurungan itu ditentukan bagi delik-delik yang lebih ringan seperti kejahatan kealpaan ( eulpose misdrijven ) dan pelanggaran.
Yang dihukum kurungan ditempatkan dalam keadaan lebih baik. Hal ini kelihatan dari beberapa hal :
Pertama, yang dihukum penjara dapat diangkut kemana-mana saja untuk menjalani hukumannya, sedangkan yang dihukum kurungan tanpa persetujuannya ( = bertentangan dengan kehendaknya ) tidak dapat diangkut ke satu tempat lain di luar daerah tempat kediamannya atau di luar daerah tempat ia tinggal pada waktu itu – pasal 21 : “hukuman kurungan harus dijalani di daerah tempat kediaman yang terhukum, waktu keputusan hakim dijalankan atau bila dia tidak bertempat kediaman di daerah tempat ia ada waktu itu, kecuali kalau atas permintaannya Menteri Kehakiman mengizinkan menjalani hukuman itu di tempat lain”.
Kedua, kepada yang dihukum kurungan diwajibkan pekerjaan yang lebih ringan daripada pekerjaan yang diwajibkan kepada yang dihukum penjara – pasal 19 ayat 2.
Ketiga, menurut pasal 23 KUHPidana, maka “orang yang dijatuhi hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam Undang-Undang”. Perlu dikemukakan disini yang dihukum kurungan itu hanya dapat menerima upah yang dimaksud dalam pasal 23 KUHPidana itu untuk pekerjaan yang dilakukakannya di luar pekerjaan yang diwajibkan yaitu sejumlah uang yang akan diserahkan kepada yang dihukum kurungan itu pada saat ia meninggalkan penjara dan pulang.

Hukuman Denda
hukuman denda diancamkan dan sering sebagai alternatif dengan hukuman kurungan terhadap hampir semua pelanggaran ( overtredingen ) yang tercantum dalam buku III KUHPidana. Terhadap semua kejahatan enteng hukuman denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan hukuman penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. Alternatif lain adalah dengan hukuman kurungan. Hukuman denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain.
Mengenai hukuman-hukuman denda oleh pembuat Undang-Undang pidana tidak ditentukan satu batas maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal KUHPidana yang bersangkutan ditentukan batas maksimum ( yang khusus ) hukuman denda yang dapat ditetapkan oleh hakim. Karena “jumlah-jumlah hukuman denda baik dalam KUHPidana….maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945…….adalah tidak setimpal lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman hukuman denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai uang pada waktu ini, sehingga jumlah-jumlah itu perlu dipertinggi”, maka telah diundangkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang 1960 Nr 18 – yang telah disinggung di atas tadi. – yang dalam pasal 1 ayat 1 menentukan bahwa, tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-Undang No.1 tahun 1960 ( Lembaga Negara tahun 1960 No.1 ), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pengganti Undang-Undang ini 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pengganti Undang-Undang ini harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali. Jadi, denda yang tertinggi yang disebut dalam KUHPidana dalam pasal 403, yaitu Rp.1000, - sekarang menjadi Rp. 15.000, -.
Ilmu hukum pidana modern telah berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu satu hukuman denda yang berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat dari pada satu hukuman penjara jangka pendek atau satu hukuman kurungan jangka pendek.

Hukuman Tutupan
Hukuman tutupan tidak dikenal oleh WvS tahun 1915. Undang-Undang RI 1946 Nr 20, Berita RI tahun II Nr 24 ( 1 dan 15 November 1946 ) menambah pasal 10 KUHPidana tahun 1946 dengan satu jenis hukuman utama lagi, yaitu hukuman tutupan. Ayat 1 pasal 2 Undang-Undang RI 1946 Nr 20 menentukan bahwa, “dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan”. Hukuman tutupan ini tidak dijatuhkan apabila, perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa “hukuman penjara lebih pada tempatnya”. Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala yang perlu untuk menjalankan. Dalam peraturan ini kelihatan bahwa “Rumah Tutupan” itu bukan satu penjara biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh yang dihukum tutupan itu bukan kejahatan biasa, dan kepada yang dihukum tutupan itu juga tidak diberi satu perlakuan yang biasa tetapi satu perlakuan yang istimewa. Misalnya, ayat 22 pasal 33 Peraturan Pemerintah 1948 Nr 8 menentukan bahwa “makanan orang hukuman tutupan harus lebih baik daripada makanan dari orang hukuman penjara”, ayat 5 : “buat orang tidak merokok, pemberian rokok diganti dengan uang seharga barang-barang itu”, ayat 1 pasal 36 : “orang-orang hukuman tutupan diperkenankan memakai pakaian sendiri”, ayat 3 : “pada orang-orang hukuman tutupan yang tidak mempunyai pakaian sendiri dan juga tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya diberi pakaian seperlunya menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan. Pakaian ini harus lebih baik daripada pakaian guna orang hukuman penjara”, ayat 2 pasal 37 : “jika mungkin berhubung dengan keadaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban dan keamanan, maka orang-orang hukuman tutupan itu boleh memakai alat tidurnya sendiri”.


Hukuman-hukuman tambahan menurut KUHPidana – Pasal 10 sub b menyebut jenis-jenis hukuman tambahan, yaitu :

a. pencabutan hak-hak tertentu
Pasal 35 ayat 1 menyebut hak-hak mana yang dapat dicabut :
- hak menjabat segala jabatan atau di jabatan yang ditentukan
- hak masuk pada kekuasaan bersenjata ( Balatentara )
- hak memilih dan hak boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut Undang-Undang umum
- hak menjadi penasehat atau penguasa alamat ( wali yang diakui sah oleh negara ) ( raadsman of gerechtelijk bewindvoerder ), dan menjadi wali, menjadi wali pengawas awas, menjadi curator atau menjadi curator pengawas awas atas orang lain daripada anaknya sendiri.
- kuasa bapak, kuasa wali dan penjagaan ( curatele ) atas anak sendiri
- hak melakukan pekerjaan yang ditentukan

b. perampasan barang-barang tertentu
Yang dapat dirampas itu hanya barang-barang tertentu saja. Undang-Undang pidana tidak mengenal perampasan seluruh kekayaan. Juga tidak mungkin perampasan sebagian tertentu kekayaan, karena barang-barang yang dirampas itu harus disebut satu per satu dalam keputusan hakim yang bersangkutan.
Barang-barang yang dapat dirampas itu dibagi dalam dua golongan, yaitu :
-barang yang diperoleh dengan kejahatan, seperti uang palsu yang diperoleh dari kejahatan pemalsuan uang, uang yang diperoleh dari kejahatan penyuapan.
-barang yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan misalnya sebuah pistol, sebuah pisau belati, sebuah golok, alat-alat untuk melakukan abortus dan barang-barang ini disebut  instrumenta dilicti.
Dalam mengeksekusi perampasan itu, kita menghadapi dua kemungkinan, yaitu :
-barang-barang yang hendak dirampas telah dibeslah
-barang-barang yang hendak dirampas tidak dibeslah

c. Pengumuman Keputusan Hakim
Yang dimaksud dengan pengumuman keputusan hakim adalah publikasi ekstra. Hakim adalah bebas untuk menetapkan tempat publikasi, yaitu di surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding gedung pemerintahan, gedung bioskop, dan gedung lain yang biasa dikunjungi oleh umum, pengumuman melalui siaran radio. Tetapi kesulitan yang ditimbulkan dalam membuat publikasi ekstra ini adalah hal ongkos-ongkosnya – bertentangan dengan prinsip umum bahwa ongkos pelaksanaan hukum yang dibebani pada kas negeri – dipikul oleh yang terhukum sendiri, dan meminta pembayaran ongkos-ongkos itu dari yang terhukum, yang sudah tentu tidak rela membantu harus melalui cara perdata yang biasa. Persoalan ongkos menghalangi pelaksaan hukuman tambahan pengumuman keputusan hakim itu.

Hukum pidana untuk anak ( kinderstraftrecht ) – JONKERS berbicara tentang “kinderstraftrecht” dan tidak berbicara pada “kinderstraven” ( hukuman-hukuman bagi anak ) karena Undang-Undang pidana di Indonesia tidak mengenal hukuman yang khusus bagi anak bahkan sebenarnya lembaga hukum pidana bagi anak itu adalah sesuatu yang asing bagi tata hukum di Indonesia. Tetapi masih ada untungnya bahwa di Indonesia dikenal tindakan ( maatregel ) pendidikan terpimpin (dwangopvoeding) yang merupakan satu tindakan yang cocok sekali dan bermanfaat bagi anak.
Pasal 45 KUHPidana mengatakan tindakan-tindakan apa yang dapat ditetapkan oleh hakim yang harus menyelesaikan suatu perkara yang menyangkut seorang anak yaitu :
-memerintahkan supaya si-tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
-memerintahkan supaya si-tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536 dan 540, perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan.

Jadi, menurut pasal 46 tersebut maka anak yang diserahkan kepada pemerintah itu dapat :
x. ditempatkan disuatu lembaga pendidikan negeri ( landsopvoedingsgesticht ), atau
y. diserahkan kepada seorang khusus, atau
z. diserahkan kepada satu perhimpunan atau satu yayasan yang bekerja dibidang kesejahteraan sosial dan yang mempunyai status sebagai badan hukum,

Undang-undang pidana mengenal tiga jenis perawatan ( verpleging ), yaitu :
o. perawatan dalam sebuah lembaga pendidikan negeri, atau
p. perawatan dalam satu keluarga partikelir ( swasta ), atau
q. perawatan dalam sebuah lembaga pendidikan swasta.

Menurut JONKERS maka sebagai dasar utama ( hoofgedachten ) pendidikan terpimpin itu dapat disebut :
1. anak yang bersangkutan harus ditempatkan dalam suasana yang baik, yang menguntungkan pendidikannya, ia dapat membiasakan diri pada ketertiban dan disiplin.
2. anak yang bersangkutan harus disiapkan untuk perjuangan untuk mendapat satu tempat yang layak dalam masyarakat di kemudian hari. Di samping pelajaran sekolah dasar yang umum, diadakan pula dalam salah satu mata pencaharian ( ambacht ) seperti memlihara ternak, perkebunan, montir mobil, montir listrik.
3. keputusan hakim yang menetapkan de terbeschikking stelling tidak menyebut jangka waktunya itu. Jadi, keputusan hakim tersebut adalah satu keputusan yang tidak tertentu ( onbepaald vonis ).

Tindakan ( maatregel ) – Perbedaan hukuman tindakan adalah sebagai berikut : hukuman bertujuan untuk memberi penderitaan yang istimewa ( bijzonder leed ) kepada pelanggar supaya ia merasa akibat dari perbuatannya, sedangkan tujuan tindakan lebih bersifat melindungi dan mendidik, lebih bersifat sosial. Sifat melindungi itu sangat ditonjolkan oleh POMPE, yang berbicara tentang beveiligingsmaatregel, yaitu dalam bahasa kita, tindakan untuk melindungi. Maatregel adalah singkatan dari beveiligingsmaatregel. 
Menurut POMPE maka ditinjau dari sudut teori-teori hukuman, tindakan itu merupakan sanksi yang tidak bersifat membalas, melainkan tindakan itu semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Tindakan itu bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap orang-orang tertentu, yaitu orang-orang berbahaya yang mungkin melakukan delik-delik yang dapat merugikan ketertiban masyarakat. Berbeda dengan hukuman, yang merupakan tindakan yang membalas, maka tindakan itu merupakan tindakan untuk melindungi dan tidak bersifat membalas.

Hukum penitensier mengenal tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Pengembalian anak kepada orang tua atau walinya 
2. Terbechikkingstelling ( pendidikan terpimpin )
3. Perintah menempatkan di rumah sakit orang gila bagi seorang yang telah melakukan suatu delik tetapi dilakukannya delik itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada orang itu karena ia mempunyai pikiran yang “kurang sempurna” atau “sakit berubah” – pasal 44 KUHPidana.
4. Memberi kuasa untuk menempatkan seorang gila yang tidak dituntut karena dilakukannya suatu delik tetapi perbuatan yang telah dilakukannya itu masih juga berbahaya bagi dirinya atau bagi ketertiban umum, di rumah sakit orang gila untuk selama-lamanya satu tahun.
5. Permintaan orang tua atau wali berdasarkan pasal-pasal 302 jjs 384, 384a KUHPerdata supaya hakim menetapkan bahwa anak yang sangat nakal, dan oleh sebab itu ditempatkan dalam sebuah lembaga pendidikan terpimpin yang menjadi kepunyaan negeri atau diselenggarakan oleh pihak swasta.
6. Penempatan inverzekerde bewaring ( dalam tempat tahanan tertentu ) menurut pasal 234 RIB ( HIR ).
7. Plaatsing in een landswerkinrichting menurut pasal 234a RIB.

Penghukuman bersyarat ( voorwaardelijke veroordeling ) – Pada bagian kedua abad yang lampau, terlebih dahulu dijalankan di Negeri Inggris dan kemudian di Amerika Serikat, telah dijalankan sistem penghukuman sebagai berikut : dalam fase pertama pelanggar hanya dinyatakan bersalah dan di dalam masa percobaan. Apabila ternyata bahwa itu tidak memperbaiki kelakuannya, malahan, ia melakukan pelanggaran lagi, maka, dalam fase kedua, ia dihukum. Apabila ternyata bahwa dalam masa percobaan ini yang telah dinyatakan bersalah itu dapat memperbaiki kelakuannya, maka fase kedua tidak dijalani, yaitu hakim tidak menetapkan hukuman. Maksud utama dari sistem penghukuman ini adalah memberi kesempatan kepada pelanggar untuk memperbaiki kelakuannya, tetapi tidak dalam sebuah penjara. Kesempatan ini diberi kepadanya dalam masyarakat sendiri dan selama percobaan ia dibantu oleh pejabat pemerintah dalam usahanya menjadi seorang baik ( probation ).

Pelepasan bersyarat ( voorwaardelijke invrijheidstelling ). Pelepasan bersyarat ini telah ada pada permulaan berlakunya WvS tahun 1915, yaitu pada saat diundangkannya WvS tahun 1915 itu, dicantumkan dalam undang-undang pidana tersebut – pasal-pasal 15 sampai dengan 17. Dibandingkan dengan pelaksanaan dan pengawasan atas pelaksanaan penghukuman bersyarat, maka pelaksanaan dan pengawasan ayas pelepasan bersyarat adalah lebih mudah, dan pada tahun 1918, yaitu di tahun pertama berlakunya WvS tahun 1915 di Indonesia kemungkinan untuk melaksanakan dan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan pelepasan bersyarat itu telah ada. Memang, melaksanakan dan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan pelepasan bersyarat itu lebih mudah : dalam hal penghukuman bersyarat seluruh keputusan hakim tidak dieksekusi, tetapi dalam hal pelepasan bersyarat hanya bagian terakhir masa hukuman tidak dieksekusi. Jadi, teranglah kemungkinan untuk mengawasi yang terhukum dalam segala hal pelepasan bersyarat lebih lekas datang dari pada kemungkinan untuk mengawasi yang terhukum dalam hal penghukuman bersyarat itu bukanlah peraturan yang imperatif. Pelepasan bersyarat itu hanya kemungkinan saja.

Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa pelepasan bersyarat itu dapat diadakan, jadi tidak harus diadakan. Yang dapat mengadakan pelepasan bersyarat itu adalah Menteri Kehakiman ( dahulu Direktur van Justitie ) – pasal 16 ayat 1 KUHPidana. Pada zaman colonial dahulu Direktur van Justitie mengikuti nasehat Central College voor de Reclassering yang didirikan pada tahun 1927 dan yang diketuai oleh SCHEPPER. Faktor-faktor yang diperhatikan oleh College itu dalam membuat nasehat yang diperhatikan oleh College itu dalam membuat nasehatnya yang disampaikan kepada Direktur van Justitie. Faktor-faktor itu adalah :

a. sifat delik yang telah dilakukan
b. pribadi dan riwayat dari yang terhukum
c. kelakuan yang terhukum selama ia dipenjara
d. kemungkinan mendapat pekerjaan atau mencari nafkah dan kemungkinan diberi bantuan moril dari pihak keluarga, famili dan instansi reclassering.

~ S e l e s a i ~