MAKALAH KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar belakang
Kelas sebagai
Sistem Sosial di sana terdapat dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari
mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan
keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari
individu-individuyang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki
fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.Ruang kelas memenuhi
standar definisi kelompok sosial karenasekumpulan orang yang memiliki kesadaran
bersama akankeanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984).
Hakikat
keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik,
melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen
dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran
dan fungsiyang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.
B. Tujuan
Tujuan makalah ini sebagai wahana untuk mendapatkan informasi tentang
kelas dan sekolah segabai sistem sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Struktur Sosial
Kelas
Ruang kelas
merupakan miniatur dari kelompok yang lebihbesar, yaitu masyarakat karena di
sana berkumpul person-persondari latar belakang status sosial dan ekonomi yang
berbeda-beda,meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapaciri
khas struktur kelas yang memiliki kesamaan denganmasyarakat adalah sebagai
berikut.
a. Komposisi Anggota
a. Komposisi Anggota
Heterogenitas
adalah aspek umum yang hampir selalu ada dikelas manapun. Di sana, selain latar
belakang kehidupan yang berbeda-beda,
juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus,
keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan
secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya.
seperti halnya
dalam masyarakat karena institusi pendidikanberlaku universal yang memberi
kebebasan bagi siapa saja yangmemenuhi syarat untuk bergabung.
b. Struktur
Birokratis Berupa Peran dan Status
Di dalam kelas
yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturankelas yang diikat oleh sekolah dan
diperankan oleh wakil-wakilsiswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai
“jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan
mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas
maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris,
bendahara, dan seterusnya.
Pola imitatif
yang dibawa dari lingkup luar masyarakat initersusun karena diperlukannya
sistem penegakan tata aturaninstitusi serta pola pengendalian sosial yang ketat
mengingatfungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan
tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dansegenap norma-norma
kelas dan sekolah tersebut. Salah satubentuknya adalah penetapan status
birokratis dari unsur-unsurkelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya
sebagai wujuddari masyarakat kecil.
2. Pola Komunikasi
dalam Kelas
Komunikasi
menjadi elemen penting dalam segala kegiatan dikelas karena memungkinkan adanya
pertukaran interaksi timbalbalik antara warga kelas (murid-murid ataupun
murid-guru).Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuanbelajar
di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan
keterampilan. Konsekuensi logisnya, setiapkelas memerlukan adanya pola alur
komunikasi yang berjalansecara lancar dan efektif dari masing-masing pihak.
Aktivitas
penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalamberbagai paparan tentang materi
pelajaran beserta penjelasannyayang kadang disertai dengan berbagai tugas dan
pertanyaan yangdisampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru.
Sebaliknya
siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab,berdiskusi dengan teman sekelas
dan sebagainya, manapundengan aktivitas di luar pelajaran. Namun, aspek ini
tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasi dalam
keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimen tentang komunikasi
kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan
Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam
eksperimennya tahun 1958. Hasil eksperimen tersebut mendeskripsikan 4 bentuk
komunikasi yang terskema dalam tabelberikut.
Variabel
Komuni-
kasi
Model
|
Respon
Anggota
|
Kepemim
pinan
|
Organisasi
|
Sifat
|
Efek
bagi
Anggota
|
Melingkar
|
Aktif
|
Tidak ada
|
Tidak
Teratur
|
Tidak
Teratur
|
Tidak
disegani
|
Rantai
|
Aktif
|
Sejajar
|
Tidak
Teratur
|
Tidak
Menentu
|
puas
|
Bentuk Y
|
Kurang
Aktif
|
Tidak
Terpusat
|
Terorganisir
|
Menentu
|
puas
|
Terpusat
(Setir)
|
Kurang
Aktif
|
Terpusat
dan
Berbobot
|
Terorganisir
baik
|
Menentu
|
Kurang puas
|
Tabel 1 : Empat
Model Komunikasi dalam Kelas (Horton dan Hunt, 1999)
Hasil
kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi
mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan
permasalahan baikpada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat
(terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan
status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota
dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit
melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang
terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah
dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil
walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya.
Leavit mengatakanbahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi
pemimpinnyayang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirimberita.
Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalambentuk kegiatan belajar
kelas yang selama ini diterapkan yaitusentralisasi peran guru yang sangat
besar. Selama ini, gurumemang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi
setiapkegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materipelajaran,
memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasandan lain sebagainya.
Model
komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama,
struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota
kelompok, kecuali
anggota yang
paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua,tipe kelompok ini dianggap
paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas
strukturnya, akantetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang
yangmemegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangatterpusat
(highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisiendikarenakan
tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain,komunikasi yang terbentuk
hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan
sentral akanbanyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya
akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk
belajar.
3. Iklim Sosial di
Kelas
Kelas merupakan
perwujudan masyarakat heterogen kecil dimana di dalamnya terdapat variasi
komposisi dan hubunganantarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial
yangkontinu. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (dikelas) dan
secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentukhubungan antara
individu-individu di dalam suatu kelas ataupunhubungan kelompok.
Hal terpenting
adalah interelasi yang terjadi antara gurudengan murid yang melambangkan bentuk
konkret dari suasanakelas dan membentuk suatu iklim sosial. Pembentukan iklim
sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur
penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah
koridor gaya kepemimpinan dari seorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan
terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi
kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dari perpaduan itulah
terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelas yang merefleksikan bentuk
hubungan vertikal kelas antara guru - murid dalam kegiatan belajar di dalam
kelas yang sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar
ataupun bersosialisasi didalamnya.
Menurut Faisal
dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosialyang timbul di kelas yaitu sebagai
berikut.
a. Iklim Terbuka
Dalam iklim
terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkanintegrasi antara kepribadian
seorang guru sebagai individu danperanannya sebagai pimpinan di dalam kelas.
Dia selainmemberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para
siswa.Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasanaini dapat
mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapatbekerja sama dan berkreasi
tanpa adanya beban mental.Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya
memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnyadengan baik.
Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan
tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun
organisasi di sekolah yang lebih luas.
b. Iklim Mandiri
Dalam bentuk
ini, masing-masing mendasarkan padakemampuan dan tanggung jawab yang mereka
miliki. Para siswamendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan
kebebasankebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidakterlalu
dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkanmereka.
Untuk
memperlancar tugas siswa, seorang guru membuatprosedur dan peraturan yang
jelas, yang dikomunikasikan didalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim
mandiri ini, antaraguru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang
rasa,dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawabmasing-masing
membuat guru memberikan kelongggarankelonggaran sehingga kontrol yang ketat
tidak diperlukan karenapara murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
c. Iklim
Terkontrol
Dalam iklim
terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorangguru adalah menekankan pada
pencapaian prestasi siswa di kelas,tetapi di sisi lain justru mengorbankan
kepuasan kebutuhan sosialsiswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan
komandomengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan
kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya
sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan
kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa
jarangdilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugasmereka
sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilannyata.
Fungsi pimpinan
sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas
tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan
full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang
keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d. Iklim
Persaudaraan
Pada jenis ini,
hubungan yang terjadi antara guru dan siswasangat erat, baik dalam kegiatan
belajar maupun kegiatan di luaritu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan
sosial sangatmenonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatanyang
berorientasi pada fase oriented.
Para siswa
tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar
para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan
satu ikatankeluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasidan
saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknyasangat personal
walaupun masih memerankan diri merekasebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini
tidak banyak aturanyang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas
belajar kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurangoptimal
karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e. Iklim Tertutup
Dalam model
ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa.
Ia mengharapkan agarsetiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun
iatidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikaninisiatif
tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaandan komunikasi yang
efektif.
Antara siswa
yang satu dengan yang lain kurang dapatbekerja sama dengan baik. Akibatnya,
prestasi yang dicapai punrendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan
pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan
aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurangmemperhatikan
kepentingan siswa.
B. Sekolah
sebagai Sistem Sosial
1. Sekolah
sebagai Organisasi Pendidikan Formal
a. Pengertian
Organisasi Formal
Organisasi
secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam
penyusunan atau penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan
maksud menempatkan hubungan antara orang dalam kewajiban-kewajiban, hak - hak
dan tanggung jawab masing-masing. Penentuan strukturhubungan tugas dan tanggung
jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah
tercapainyatujuan bersama.
Dengan kata
lain organisasi adalah aktivitas dalam membagibagi kerja, menggolong-golongkan
jenis pekerjaan, memberiwewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung
jawab.Sebagaimana terangkum dalam Liweri (1997) beberapa ahlimengemukakan
pengertian tentang organisasi. Victor A.Thompson, 1969 menyatakan bahwa sebuah
organisasi adalahintegrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah
spesialisyang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.Chester
I. Barnard,1970 mendefinisikan organisasi sebagai sebuahsistem yang memaksakan
koordinasi kerja antara dua orang ataulebih. E. Wright Bakke,1967 mengatakan
suatu organisasi adalahsuatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia
yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahandan
penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi danmodal, gagasan dan sumber
alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan
sistem-sistemkegiatan manusia dan sumber-sumbernya yang lain, dalam
suatulingkungan tertentu.
Masing-masing
pendapat di atas berbeda-beda pendekatandefinitifnya, sebab hal itu disesuaikan
dengan konteks danperspektif orang yang “mendefinisikannya”. Meskipun begitu
dariperspektif yang berbeda-beda dapat kita tarik kesamaan teoritismengenai
organisasi, yaitu sebagai berikut.
1) Mempunyai
tujuan tertentu dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia;
2) Mempunyai
hubungan sekunder (impersonal);
3) Mempunyai
tujuan khusus dan terbatas;
4) Mempunyai
kegiatan kerja sama pendukung;
5) Terintegrasi
dalam sistem sosial yang lebih luas;
6) Menghasilkan
barang atau jasa untuk lingkungan, dan
7) Sangat
terpengaruh dengan setiap perubahan lingkungan.
b. Sekolah
sebagai Organisasi
Pada masyarakat
modern kehidupan manusia tidak pernahlepas dari pergulatan aktivitasnya dengan
organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat
kemajuanmasyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telahmengembangkan
satu bentuk perekat hubungan yang dinamakansolidaritas organik. Jenis
solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks,
masyarakat yang telahmengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan
oleh rasaketergantungan antarbagian. Tiap anggota menjalankan peranberbeda dan
di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasasaling tergantung seperti
layaknya sistem hubungan antarbagiandalam organisme biologis.
Masyarakat
modern memanfaatkan fungsi lembaga-lembagasosialnya dengan pola hubungan dan
orientasi sistem jaringankerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola
kegiatanyang formal, impersonal, terstruktur dan rasional. Oleh karena itudalam
kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari organisasi.
Dalam hal
pendidikan masyarakat membutuhkan sekolah, universitas maupun institusi
departemen yang mengelola sistem pendidikan negara. Pelayanan kebutuhan
konsumsi manusia telahdiambil alih oleh produk-produk industri barang dan jasa,
distribusi dengan sarana transportasi berteknologi tinggi serta melengkapinya
dengan lapangan profesi pekerjaan yang spesifik. Masyarakat membutuhkan rumah
sakit untuk melayani penderita,“plaza” untuk perbelanjaan, bank untuk menyimpan
danmengambil uang, hotel untuk menginap, kantor pemerintah untukmelayani urusan
pemerintah atau pembangunan dan kemasyarakatan. Tidak mengherankan apabila
seluruh masyarakat memusatkan perhatiannya terhadap organisasi, terutama
melalui tampilan peran, tugas dan fungsi organisasi.
Untuk dunia
pendidikan, kerangka sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan menunjukkan bahwa
masyarakat sangat memerlukan kehadiran organisasi pendidikan beserta institusi
sosialnyaguna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu,keberadaan
sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan formalmerupakan keniscayaan
historis dari tingkat perkembangan pranata sosial lembaga pendidikan di zaman
modern. Sekolah sebagai inti pranata pendidikan manusia modern sudah
seharusnyamenggunakan perangkat-perangkat yang dimiliki organisasimodern.
Dari wujudnya,
sekolah merupakan organisasi yang memilikikomponen-komponennya dan memenuhi
persyaratan sebagaisebuah organisasi formal. Beberapa kriteria organisasi
yangdiuraikan di bagian atas dapat kita lihat manifestasi spesifik dalamlembaga
sekolah. Pertama, seperti halnya organisasi bisnis atausebuah rumah sakit
sekolah memiliki tujuan kelembagaan yangjelas. Kedua, dalam organisasi sekolah
juga terdapat pola jaringankerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan
(seperti guru,supervisor dan adminsitrator) dalam rangka mencapai
tujuanorganisasi.
Analisis
organisasional mengetengahkan bahwa sekolahmengemban fungsi sebagai lembaga
yang memberi pengetahuandan keterampilan kepada anak didik, dengan
mengkoordinasikanindividu-individu yang memiliki tugas dan peran yang berbedabeda
dalam satuan jaringan kerja yang bersifat fungsional. Gurusecara formal
bertugas mengajar dan mengelola pembelajarandengan para siswanya di kelas.
Supervisor berfungsi mengadakan pembinaan kepada para guru, agar kinerja mereka
berlangsung secara efektif dan efisien, sementara tugas administratur sekolah
untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan
sekolah.
Sebagai
organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani
kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah)
menggunakan sebuahpola hubungan yang bersifat legal rasional untuk
menggerakkanroda organisasi. Sistem jabatan ini dinamakan
birokrasi(bureaucracy) yang berarti pengaturan atau pemerintahan olehpejabat. Menurut
Reinhard Bendix,1960 (dalam Robinson,1981)organisasi birokrasi mengandung
sejumlah prinsip yaitu sebagaiberikut.
1) Urusan
kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan;
2) Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu
badanadministratif;
3) Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakanbagian dari
suatu hierarki wewenang;
4) Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana
danprasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas;
5) Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikanjabatan; dan
6) Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi
tertulis.
Beberapa
prinsip birokrasi tersebut diterapkan dalam komposisi peran dan tugas pada
masing-masing warga di sekolah.Semuanya disusun menjadi satu susunan struktur
kepemimpinanbirokratis di mana kepala sekolah menempati pucuk pimpinanformal.
Apabila kita amati bersama pusat pelayanan administrasitelah dilimpahkan pada
para staf administrasi, para guru danpejabat struktural lain melaksanakan
fungsi tugasnya sesuai statusdan wewenangnya. Murid-murid melakukan tertib
kegiatan sebagai pelajar dan bahkan sampai petugas kebersihan sekolah sekalipun
juga menjadi salah satu bagian penting dari komposisi peranfungsional yang
dilembagakan oleh sekolah. Sehingga di lingkungan sekolah tidak ada seorang
individupun yang tercecerstatusnya dari jangkauan kekuasaan organisasi.
Selain itu
posisi kelembagaan sekolah juga tidak bisa lepasdari konstruksi kekuatan sistem
pendidikan makro yang menaungi keberadaan sekolah. Baik sekolah negeri maupun swastaselalu
menjadi wilayah koordinasi lembaga dinas pendidikan di tingkat kota, provinsi
bahkan sampai kepada departemen terkait di lingkup nasional. Meskipun pengaruh
susunan kekuatan lembaga tersebut bersifat gradual di mana semakin memuncak
maka koordinasi teknis terhadap sekolah semakin menipis namun dari pengertian
tersebut dapat ditarik suatu wilayah luas yang memperlihatkan jaringan
koordinasi kelembagaan dalam sebuah mekanisme organisasi besar berkapasitas
makro dan sekolah merupakan bagian-bagian kecil dari lembaga tersebut.
Terminologi
sosiologi juga mengungkapkan bahwa organisasi tidak sekadar dipandang suatu
kesatuan yang bersifat statis belaka melainkan merupakan sebuah bentuk kesatuan
yang selalu dinamis dan sifatnya tergantung pada makna yang diberikan anggota,
masyarakat luar serta para klien yang memanfaatkan jasa organisasi (Miflen,
1985). Sebagaimana penuturan August Comte, 1844 ( dalam Sunarto, 2000)
mengungkap bahwa lingkup kajian sosiologi mencakup dua bagian besar yakni
statika sosial, yaitu suatu kajian terhadap tatanan sosialnya dan dinamika
sosial, yaitu suatu kajian terhadap perubahan dan perkembangan sosialnya.
Menurut Comte
tersebut, kacamata sosiologi melihat organisasimelalui dua aspek pandangan
tersebut. Pertama, organisasi dalamkoridor statika sosial akan melandasi
pembahasan pada aspekstruktur, tatanan peran dan fungsi-fungsi formal yang
melekat didalam organisasi. Sedangkan yang kedua yakni segi dinamika sosialnya
mengamati dan mempelajari segala bentuk hubungan dinamika para anggota,
perubahan-perubahan kontruksi, bermacam interpretasi dan persepsi para
anggotanya, ataupun konflik-konflik yang muncul. Sehingga selain memiliki
struktur perananformal, sebuah organisasi akan merangkul pula aneka ragammakna
yang ditangkap berbagai macam orang.
Secara
sederhana sekurang-kurangnya ada 4 jenis sasaranorganisasi sekolah, di mana
masing-masing sasaran akan mencakup titik tolak pandangan terhadap organisasi
sekolah. Dariempat sasaran tersebut akan kita dapatkan pengertian yang cukuplengkap
tentang kompleksitas organisasi sekolah.
1)
Pertama, sasaran formal. Ruang lingkup sasaran ini meliputitujuan formal dari
sebuah organisasi. Wujud dari sasaran initercantum dalam aturan-aturan
tertulis, konstitusi dan segalaketentuan formal yang melandasi orientasi
organisasi. Sekolahsebagai lembaga pendidikan sudah semestinya
mempunyaiorganisasi yang baik agar tujuan pendidikan formal ini tercapai
sepenuhnya. Kita mengetahui unsur personal di dalamlingkungan sekolah adalah
kepala sekolah, guru, karyawandan murid. Di samping itu sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal ada dibawah instansi atasan baik itu kantor dinasatau kantor
wilayah departemen yang bersangkutan. Di negara kita, kepala sekolah adalah
jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga ia berperan sebagai pemimpin sekolah
dan dalam struktur organisasi sekolah ia didudukkan pada tempat paling atas.
Tuntutan formal organisatoris menghendaki agar tugas - tugas dan tanggung jawab
dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuan dibagi secara
meratadengan baik sesuai dengan kemampuan, fungsi dan wewenang yang telah
ditentukan. Melalui struktur organisasi yangada tersebut, orang akan mengetahui
apa tugas dan wewenang kepala sekolah, tugas guru dan karyawan sekolah.
2)
Kedua, sasaran informal. Organisasi pada umumnya tidaksepenuhnya bekerja sesuai
ketentuan-ketentuan formal. Dalambanyak hal, mereka dimodifikasi oleh
masing-masing anggotanya sesuai dengan kapasitas pemaknaan kesadaran
merekatentang organisasi. Di sekolah, seorang kepala sekolah mungkin mendapat
tanggung jawab sebagai pemimpin danpenguasa formal tertinggi. Akan tetapi
penerimaan, pola pikir dan tingkah laku kepala sekolah tersebut adalah
konstruksi pemahaman subjektifnya dalam melangsungkan hubungan dengan berbagai
pihak di lingkungan sekolahnya. Sehinggasasaran informal merupakan interpretasi
dan modifikasisasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibatlangsung
pada wadah organisasi. Sasaran ini mencakup pulapersepsi masing-masing individu
dan menjadi tujuan kegiatanpribadi di dalam organisasi. Masing-masing siswa
tentunyamemiliki tujuan yang bervariasi dalam melangsungkan statusnya sebagai
pelajar. Mungkin ada yang berharap mendapatprestasi akademik tinggi atau
mengidamkan ijasah dan tidaksedikit pula yang sekadar menjalankan tradisi
masyarakat.Seorang guru dapat saja mengajar hanya untuk mencari gajinamun
banyak pula yang masih berpegang teguh pada loyalitas pekerjaan sebagai seorang
pendidik.
3)
Ketiga, sasaran ideologis. Sebagaimana tersirat di dalam istilahtersebut,
sasaran ini menyangkut seperangkat sistem eksternalatau sistem nilai yang
diyakini bersama. Dalam hal ini, nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu
sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat
itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat
mereka bernaung(Goodenough, 1971; Spradley, 1972; Geertz, 1973) dalam
Sairin(2002) merupakan penjabaran dari dari pengaruh ideologis terhadap
organisasi. Sasaran ini menyoroti pengaruh interaktifkultur-ideologis yang
dianut oleh sebagian besar manusiadalam menangkap, menyikapi dan merespon
eksistensi organisasi. Masyarakat kita memiliki semangat yang tinggi
untukmeraih prestasi vertikal, sementara sekolah merupakan wadahyang cukup
strategis bagi manusia untuk menopang ambisimobilitas vertikalnya. Maka bisa
diasumsikan hampir sebagianbesar warga sekolah maupun masyarakat akan
mengarahkankeyakinan kultural tersebut dalam memaknai keberadaansekolah.
4)
Keempat, sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini
akan menonjol pada suatu proses aktivitasorganisasi yang tengah mempertahankan
eksistensinya dalamsituasi di luar kondisi biasa. Berkurangnya pendaftaran
disekolah-sekolah dan universitas dapat merubah secara luasperan para guru atau
organisasi ruang sekolah, termasuk rasioguru terhadap siswa beserta kelas-kelas
yang terspesialisasi.Jika tidak, maka sejumlah besar guru akan terancam
menganggur.
Keempat sasaran
atau pandangan organisasi tersebut mengisyaratkan suatu pola pandangan yang
berbeda dari pandanganumum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan
sekadartumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis serta jalur-jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Mekanisme
tersebutmengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam penafsiranpara
anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalammengemban peran dan status
yang berbeda-beda di dalam organisasi sekolah.
2. Sekolah
Sebagai Sistem Sosial
a. Pengertian
Sistem
Banyak pendapat
tentang pegertian sistim. Namun secaraumum pengertian sistem adalah sekelompok
bagian-bagian yangbekerja sama secara keseluruhan berdasarkan suatu tujuan
bersama. Di dalam sistem masing-masing unsur saling berkaitan,saling bergantung
dan saling berinteraksi atau suatu kesatuanusaha yang terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu denganyang lainnya, dalam usaha untuk
mencapai tujuan dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut selaras
denganpendapat Johnson, Kast dan Rosenwig,1973 sebagaimana dikutipoleh Soenarya
(2000) menyatakan bahwa sistem adalah suatutatanan yang kompleks dan
menyeluruh. Dengan kata lain, satukesatuan dari sesuatu sehingga merupakan
kesatuan yang menyeluruh. Sedangkan Middleton dan Wedemeyer,1985 memandang
sistem sebagai kumpulan dari berbagai bagian (unsur) yang saling tergantung
yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan, di
mana hasil keseluruhan lebih berarti dari pada hasil sejumlah bagian (Soenarya,
2000: 12).
Bachtiar (1985)
mengemukakan bahwa sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan satu dengan
lainnya sedemikianrupa sehingga membentuk satu kesatuan yang biasanya
berusahamencapai tujuan tertentu. Pada bagian yang sama, Bachtiarmenambahkan
bawa sistem adalah seperangkat ide atau gagasan,asas, metode dan prosedur yang
disajikan sebagai suatu tatananyang teratur. Cleland dan King (1988) menyatakan
bahwa sistemadalah sekelompok sesuatu yang secara tetap saling berkaitan
dansaling bergantungan sehingga membentuk suatu keseluruhanyang terpadu. Adapun
menurut Poerwodarminto dalam KamusBesar Bahasa Indonesia (1988: 849)
menyebutkan bahwa sistemadalah (1) seperangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitansehingga membentuk suatu totalitas, (2) susunan yang teratur
daripandangan, teori, asas dan sebagainya, dan (3) metode.Mendasarkan pendapat
diatas, sesuatu dapat dinamakansistem bila terjadi hubungan atau interelasi dan
interdependensibaik internal maupun eksternal antarsubsistem. Interaksi,
interelasi, dan interdependensi itu disebut hubungan internal. Bila interaksi,
interelasi, dan interdependensi itu terjadi antarsistem,hubungan itu disebut
hubungan eksternal.
Bila hubungan
antarsubsistem atau antarkomponen di manahubungan itu terjadi dengan sendirinya
dan tergantung darisubsistem atau komponen lain, hubungan itu disebut
hubungandetermenistik. Sebaliknya, bila hubungan itu tidak pasti bahwa sesuatu
itu dapat berfungsi, maka suatu komponen tidak perlu bergantung pada suatu
komponen yang lain. Bola lampu mempunyai akibat deterministik terhadap
penerangan karena tanpabola lampu dengan berbagai jenis dan bentuknya akan
mengakibatkan kegelapan. Namun terang dan gelap lampu tidak adahubungannnya
dengan kipas angin. Hubungan yang demikian itudisebut nondeterministik.
Apabila
terdapat pengaruh yang menunjang, memperkuat,mempercepat fungsi perubahan atau
pertumbuhan suatu sistematau subsistem, maka hubungan itu menimbulkan pengaruh
yangmenghambat atau mencegah, maka hubungan itu disebut disfungsional.
Lingkungan
merupakan batas antara suatu sistem dengansistem lainnya. Makin terbuka suatu
sistem, makin perilakunyaterpengaruh oleh lingkungan. Lingkungan suatu sistem
merupakan pembeda antara suatu sistem dengan sistem yang lain.
Lingkungan
dapat merupakan sumber yang memberikan kesempatan kepada suatu sistem untuk
berkembang dalam mencapaifungsi dan tujuannya, atau sebaliknya dapat pula
merupakanpenghambat.
b. Sistem
Sosial
Salah satu
pendekatan di dalam sosiologi yang menggalikonsep sistem sosial adalah
pendekatan fungsional struktural.Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa
masyarakat,sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam
suatubentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakatseperti
layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan
memelihara hubungan integratif-sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat
tetap terjaga.
Menurut Nasikun
(1984) pendekatan fungsional strukturalsebagaimana telah dikembangkan oleh
Parson dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah asumsi dasar
sebagaiberikut.
1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem di mana didalamnya
terdapat bagian-bagian yang saling berhubunganantara satu sama lain;
2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antarbagian
tersebut bersifat ganda dan interaktif;
3) Meskipun integrasi sosial sulit mencapai kesempurnaan,namun
secara mendasar sistem sosial cenderung bergerak kearah equilibrium yang
bersifat dinamis; menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan
kecenderunganmemelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistembeserta
akibatnya dapat diminimalisasi;
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi, namun dalamjangka panjang keadaan
tersebut akan berakhir pula melaluipenyesuaian-penyesuaian dan proses
institusionalisasi.Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial secara
sempurnatidak pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akansenantiasa
berproses ke arah tersebut;
5) Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul melaluitiga
macam kemungkinan yaitu (1) penyesuaian-penyesuaianyang dilakukan oleh sistem
sosial itu terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra system
change), (2)pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural danfungsional,
dan (3) serta penemuan-penemuan baru olehanggota-anggota masyarakat; dan
6) Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikansistem
sosial adalah konsensus antaranggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu.
Setiap masyarakat, menurut pandangan fungsional struktural selalu memiliki
tujuan-tujuandan prinsip-prinsip dasar tertentu yang mendapat keyakinankuat
dari sebagian besar anggota masyarakat dan dipercayamemiliki kebenaran mutlak.
Sistem nilai tersebut bukansekadar sumber kekuatan yang menyebabkan integrasi
sosial,namun sekaligus merupakan unsur yang menstabilkan sistemsosial budaya
tersebut.
Dari
beberapa asumsi di atas dapat disimpulkan bahwasebuah sistem sosial merupakan
sistem dari tindakan-tindakanmanusia. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi
antarberbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dalam standarpenilaian umum
serta mendapat kesepakatan bersama dari paraanggota masyarakat. Yang paling
penting dari berbagai standarpenilaian umum adalah apa yang disebut sebagai
norma-normasosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk
struktur sosial.Pengaturan interaksi sosial antaranggota masyarakat
tersebutdapat terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-normasosial
menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapatdan kepentingan-kepentingan
pribadi mereka, proses inimemungkinkan bagi mereka untuk menemukan
keselarasanantarsatu sama lain sehingga pada proses selanjutnya menghasilkan
suatu tingkat integrasi sosial. Dalam posisi tersebut, equilibrium terpelihara
oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Duamacam mekanisme sosial yang
mengendalikan hasrat-hasrat paraanggota demi terpeliharanya kontinuitas sistem
sosial, adalahmekanisme sosioalisasi dan pengawasan sosial (social control).
Dari
anggapan-anggapan di atas itulah para penganut fungsional struktural menganggap
bahwa disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan sosial
yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan masyarakat sehingga
memunculkan terjadinya diferensiasi sosial yang semakin komplek, adalah akibat
dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.
Namun
anggapan-anggapan tersebut memiliki beberapakelemahan yang melekat. Kelemahan
tersebut terletak pada bahwa pendekatan fungsional struktural mengabaikan
beberapakenyataan, antara lain:
1) Setiap
struktur sosial selalu mengandung konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang
bersifat internal, lalu pada gilirannyajustru menjadi sumber terjadinya
perubahan sosial;
2)
Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahanyang datang dari
luar (extra systeme change) tidak selalu bersifatadjustive;
3)
Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu tertentu dapat jugamengalami
konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle;dan
4)
Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melaluipenyesuaian-penyesuaian
lunak, akan tetapi juga terjadi secararevolusioner (Nasikun, 1984: 15).
Dari
beberapa asumsi tersebut telah jelas bahwa pendekatan fungsional struktural
terlalu menekankan asumsi dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dalam
menelaah tingkah laku sosial, khususnya proses-proses yang paling mikro di
tingkatindividu. Pandangan tersebut menegaskan bahwa setiap individumerupakan
kontributor teknis yang melembagakan tegaknyanorma-norma sosial demi menjamin
stabilitas sosial.
Pendekatan
tersebut telah melupakan hakikat dualistis yangselalu terkandung dalam realitas
hidup. Salah satunya realitassosial bahwa selain kemapanan empiris yang
mencerminkantertibnya tatanan hidup ada sisi gelap yang terselubung dan
perlahan-lahan menjadi potensi konflik yang bersifat laten. Dalamkonteks
sosialnya, istilah tersebut dinamakan sub-stratum, yaknidisposisi-disposisi
yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life chances dan
kepentingan-kepentingan tertentu.
Oleh
karena itulah, maka pendekatan fungsional strukturaldipandang kurang lengkap
dalam menelaah hakikat sistem sosial.Beberapa ahli yang lalu mengkritisi teori
fungsional struktural menambahkan analisisnya untuk memperlengkap
kajiansosiologi tentang sistem sosial. Oleh masyarakat pendekatan mereka dinamakan
pendekatan konflik. Pendekatan tersebut memperhatikan kekurangan-kekurangan
yang melekat di dalam fungsional struktural lalu mencoba menemukan formulasi
teoretisyang lebih representatif. Beberapa asumsi yang dimiliki olehpendekatan
konflik tersebut antara lain yaitu,
1)
Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahanyang tidak pernah
berakhir atau dengan kata lain, perubahansosial merupakan gejolak yang melekat
dalam setiap masyarakat;
2)
Setiap masyarakat selalu mengandung konflik-konflik yang terselubung, atau
dengan kata lain konflik adalah gejala yangniscaya ada di masyarakat manapun;
3)
Setiap unsur dalam suatu masyarakat selalu memberikansumbangan terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahansosial; dan
4)
Setiap masyarakat terintegrasi di bawah kekuatan ataudominasi golongan tertentu
yang memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar masyarakat (Nasikun, 1984:
16-17).
Perubahan
sosial oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai
gejala yang melekat pada kehidupan masyarakat, namun lebih dari itu merupakan
sumber yang berasal dari faktor-faktor internal di dalam sebuah masyarakat.
Perubahan sosial muncul disebabkan oleh pertentangan unsur-unsursosial.
Kontradiksi internal tersebut bersumber pada tegaknyasistem struktur yang tidak
merata dalam level kekuasaan. Kenyataan ini menjadi faktor munculnya dua
entitas kepentingan yangsenantiasa bertentangan yakni, pengemban otoritas dan
mereka-mereka yang dikuasai.
Dari
pendekatan konflik dapat disadari satu substansi kodrat sosial yang tidak bisa
dilupakan, yaitu dengan perbedaan serta diferensiasi sosial bukanlah sekadar
menjadi sarana penyokong integrasi maupun fungsionalisasi peran. Perbedaan juga
memilikiperan kontroversial yang memicu merebaknya disintegrasi sosial.Kenyataan
ini mendorong terciptanya akomodasi kepentinganyang mampu merombak tatanan
sosial untuk menjadi lebihrepresentatif dan berdaya guna bagi masyarakat.
c. Sistem
Sosial di dalam Sekolah
Sebagai sistem
sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang
saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain.
Zamroni (2001) menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai
suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut
suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan
dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya.
Sesuai dengan
pendekatan fungsional struktural, lembagasekolah diibaratkan masyarakat kecil
yang memiliki kekuatanorganis untuk mengatur dan mengelola
komponen-komponennya.Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam
naungansistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman
formalmerupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikapdan
perilaku para pengemban status dan peran di sekolah.Pendekatan fungsional
struktural melihat lingkungan sekolahpada hakikatnya merupakan susunan dari
peran dan status yangberbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut
terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkandaya
orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistemsosial tersebut
bermuara pada status sekolah sebagai lembagaformal.
Keberadaan
guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa,
pengawas, administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang
berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika
kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga disini
fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihatberbagai peran dan
status formal di sekolah sebagai satu-satunyapedoman mendasar atas segala
aktivitas yang dilakukan olehwarganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah
tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnyasehingga
menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah.
Manifestasi
peran mendasar norma-norma sekolah telah mengikatwarganya dalam nuansa
integritas kesadaran yang tinggi.Sementara itu, pendekatan konflik lebih
menekankan porsipenilaian subjektif para pelaku peran di sekolah dan
konsekuensiobjektif atas wujud sekolah sebagai lembaga yang memeliharasistem
kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain dari tertibnya perilaku
masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrat-hasrat
individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif. Lockwood melihat
bahwa setiap situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial
yang bersifat normatif sertasubstratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya
sistem nilainormatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah bukanberarti
melenyapkan potensi-potensi konflik. Oleh sebab itu,stabilitas sosial yang
dicerminkan oleh pengaturan peran dan status seperti guru, kepala sekolah,
pejabat struktural sekolah,pengawas sekolah, murid, administratur sekolah,
orang tua siswa,petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk pengaturan
manifes atas masing-masing kepentingan yang sebenarnyasaling bertentangan.
Secara lebih
radikal beberapa penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial
yang ada (termasuk di sekolah) merupakan hasil kekuasaan dominan baik itu
bersumber dari paksaan secara fisik maupun kekerasan simbolik (symbolic
violence). Artinya kelas sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang
menghegomoni kesadaran seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai
objektif yang pada hakikatnya banyak berpihak pada golongan atau kelas yang
berkuasa.
Di dalam
sekolah, seorang kepala sekolah selain memiliki kedudukan formal sebagai
pemimpin sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan dan
otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf
administrasi dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala
sekolahmenjalankan fungsi formalnya, maka ada titik pertentangan
yangmenggoyahkan otonomi peran guru dalam mengelola belajarmengajar. Di satu
sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasildalam belajar dengan proses
pengajaran yang efektif, efisien sertamampu mencapai target penguasaan materi
yang banyak. Di sisilain, harapan yang melambangkan kepentingan status
kepalasekolah tersebut tentunya membebani peran sekaligus otonomikedudukan guru
dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Faisal dan
Yasik (1985) menyatakan bahwa dari pendekatan konflik bisa ditarik dua asumsi
dasar yang muncul pada lembaga sekolah. Sebuah lembaga yang memiliki tujuan
tertentu danmemelihara banyak status yang berbeda serta memiliki
peranfungsional. Aneka ragam status tersebut dikelola melalui fungsi-fungsi
otoritas legal formal dengan memanfaatkan prinsip-prinsipbirokrasi. Dua asumsi
tersebut yakni:
1) Potensi
konflik dalam mengintegrasikan pemahaman satutujuan sekolah kepada para
pemegang status yang berbeda-beda. Untuk satu tujuan pendidikan, masing-masing
pengemban posisi akan memiliki daya tangkap sektoral yang berbeda-beda dalam
mengartikan hasil maupun proses pencapaiantujuan.
2)
Sulitnya meraih kesamaan persepsi mengenai batas peran danposisi pendidikan.
Sebagai dampaknya, keadaan tersebutmemicu konflik internal lintas posisi. Yang
dimaksud konflikperanan internal adalah konflik harapan antarpihak daripemegang
posisi peran di sekolah. Para guru dihadapkandengan harapan yang saling
bertentangan dengan kepalasekolahnya, penilik, petugas konseling, administratur
pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri.
Dari dua
pendekatan utama di atas (fungsional struktural dankonflik) dapat diambil
kesimpulan bahwa sekolah bukanlahsekadar kumpulan yang terdiri dari para
pelaksana administrasi,guru dan murid dengan segala sifat dan pembawaan
merekamasing-masing (Horton dan Hunt, 1999: 333). Lebih dari itu, sekolah
merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan
mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang
menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah
akan selalumengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks
seperti halnya dinamika sosial masyarakat umum .
Beberapa unsur
tersebut memproduk konsep-konsep sosial didalam sekolah yakni sebagai berikut.
1) Kedudukan
dalam Sekolah
Sekolah,
seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota
dalam lingkungannya. Setiap orang didalam sekolah memiliki persepsi dan
ekspektasi sosial terhadapkedudukan atau status yang melekat pada diri warga
sekolah. Disana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala
sekolah,guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi
hubungan ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Halini selaras dengan pendapat
Weber (dalam Robinson, 1981)tentang konsep tindakan sosial, dimana setiap orang
memiliki idealtype untuk mengukur dan menentukan parameter mendasar tentang
sebuah realitas. Realitas sosial yang tersebar dalam statussosial menjadi titik
tolak kesadaran seorang individu untukmenentukan sikap, pandangan dan tindakan
dalam lingkup sosialtertentu. Harapan ideal “kepala sekolah” merupakan
kesadaranawal yang mempengaruhi sikap individu seorang pejabat kepalasekolah.
Meskipun pada proses selanjutnya harus terkombinasidengan pembawaan individu,
prasangka terhadap status lain,hubungan-hubungan antarstatus serta kaitannya
dengan konstruksi total dari susunan status di sekolah.
Dalam
mempelajari struktur sosial sekolah kita analisisberbagai anggota menurut
kedudukannya dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan
dibangun berdasarkansistem klasifikasi sosial di antaranya adalah,
a)
Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan mengidentifikasi pelakunya pada
perbedaan seks atau kelamin bu guru, pak guru, murid putri, siswa lelaki, pak
kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan seks
merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik.Pembedaan
tersebut merupakan dampak kultural darimasyarakat yang lebih luas, dimana
perbedaan kelamin masihmengkisahkan pembagian kerja, hak, serta ruang gerak
yangberbeda pula. Namun secara struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu
mempengaruhi kualitas penerapan ketentuanformal sebuah lembaga. Seorang kepala
sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap
para guru lelaki maupun wakasek laki-laki.
b)
Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga, misalnya kepala sekolah,
guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori kedudukan
ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan serangkaian perandan
pemetaan kewenangan struktural berdasarkan pembagianwilayah kekuasaan yang
bersifat hierarkis. Sesuai denganformasi struktur lembaga sekolah maka
masing-masing posisimenggambarkan tingkat kekuasaan yang
bertingkat-tingkat.Posisi teratas menggambarkan puncak pengakuan
otoritastertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada posisi-posisi di bawahnya.
c)Kedudukan
berdasarkan usia. Pengakuan terhadap kategorisosial ini didasarkan konstruksi
sosial sekolah sebagai lembagapendidikan. Berangkat dari pengertian tentang
pengajaransebagai sumber dari keberadaan sekolah dan segala
aktivitaskelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak lepasdari hubungan
antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisaditangkap indikasi kecenderungan
dalam lembaga sekolahuntuk mengutamakan sistem nilai berdasarkan usia.
Merekayang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan, sumbernilai kebaikan,
pengontrol moral, berkemampuan tinggi danlain sebagainya. Oleh sebab itu,
pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali melekat dalam
orientasi wargasekolah.
d)
Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah. Pada dasarnya tiap-tiap status di
sekolah akan membentuk wilayah-wilayah sektoral sesuai dengan ruang lingkup
pekerjaan. Dikelas jenis status yang paling dominan berperan adalah statusguru
dan murid. Sementara di wilayah birokrasi akan memperlihatkan kontak sosial
antara pengurus administrasi baikitu kepala bagian, sekretaris, bendahara
sekolah serta staf-stafnya. Di tingkat pelayanan administrasi akan
melibatkanpegawai administrasi dengan para siswa, guru-guru dan lainsebagainya.
2) Interaksi di
Sekolah
Menurut Horton
dan Hunt (1999) sistem interaksi di sekolahdapat ditinjau dengan menggunakan
tiga perspektif yang berbeda,yakni:
a) Hubungan
antara warga sekolah dengan masyarakat luar
b) Hubungan di
internal sekolah lintas kedudukan dan peranannya.
c) Hubungan
antarindividu pengemban status atau kedudukanyang sama.
Dalam kategori
pertama, hubungan interaktif antara orangdalam dengan orang luar mencerminkan
keberadaan sekolahsebagai bagian masyarakat. Para guru, murid dan seluruh
wargadi sekolah juga pengemban status-status lain di masyarakat.Sehingga
interaksi di sekolah merupakan kombinasi berbagai nilaidari masyarakat yang
dibawa oleh para warga sekolah. Para guru,kepala sekolah, murid-murid juga
bagian dari masyarakat mereka.Mereka membawa sikap dan perilaku ke sekolah,
sebagai hasildari hubungan dengan tetangga, teman, gereja, partai politik
danberbagai ragam kelompok kepentingan.
Sementara
secara formal, sekolah memiliki pihak-pihak yangbertanggung jawab mengadakan
hubungan antara masyarakatdengan pihak sekolah. Dalam hal ini, pihak yang
paling berkepentingan mengadakan hubungan dengan masyarakat adalah pengawas
sekolah. Pengawas sekolah bertanggung jawab menjaminkualitas pelaksanaan
pendidikan di sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara di tingkat
internal pengawas sekolah juga berkewajiban memberikan perlindungan atas
orientasimasyarakat sekolah dari tuntutan-tuntutan luar yang kurangmasuk akal.
Sebagai pengamat atau evaluator pengawas sekolahjuga memiliki tugas memelihara
keharmonisan hubungan antarakelompok-kelompok yang berbeda di sekolah.
Hubungan
antarstatus juga seringkali menimbulkan konflikantarperan. Di dalam sekolah,
tanggung jawab penjaga sekolah menyangkut kebersihan bertentangan dengan
keinginan warga sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah semaksimal mungkin.
Kebebasan profesional guru juga bertentangan dengan kepentingan pengawas
sekolah dalam menciptakan kelancaran pengajaran di tiap-tiap kelas. Keinginan
kepala sekolah untuk menerapkan inovasi baru harus berhadapan dengan keengganan
gurudan murid untuk menerima perubahan. Salah satu konflik yang cukup krusial
saat ini adalah konflik keinginan pengawas sekolah untuk mencapai hasil pengajaran
yang terbaik sesuai dengan anggaran biaya yang tersedia berhadapan dengan
tuntutan organisasi persatuan guru untuk memperoleh jaminan pekerjaan dan gaji
yang memadai.
Namun selain
menimbulkan konflik, hubungan antarstatusmerupakan bagian dari orientasi lembaga
sekolah. Secara fungsional untuk mencapai tujuan yang diharapkan sekolah
membutuhkan peran dan kiprah dari berbagai status dan kedudukan.Sehingga kerja
timbal balik antarstatus diprioritaskan untukmelancarkan proses pencapaian
tujuan organisasi. Sekolahmembutuhkan hubungan yang harmonis antarguru dan
muridagar tujuan pengajaran di kelas dapat tercapai secara maksimal.Sekolah
membutuhkan kerja sama antarberbagai pihak agar rodaorganisasi dapat berjalan
dengan lancar.
Hubungan
antarindividu atau kelompok dalam jenis statusyang sama juga tidak lepas dari
bagian interaksi di sekolah. Paraguru selain memiliki persamaan peran sesuai
statusnya jugamenggambarkan berbagai perilaku guru yang berbeda-beda. Halini
sesuai dengan perbedaan karakter, sikap dan pengalamanindividu dalam
melancarkan aktivitas di sekolah. Kita ketahuibersama untuk status siswa pun
juga telah terbentuk aneka ragamkarakter dan perilaku individu maupun kelompok
yang berbedabeda.
3) Klik Antar
Siswa
Pengelompokan
atau pembentukan klik mudah terjadi disekolah. Suatu klik terbentuk bila dua
orang atau lebih menjalinpersahabatan sehingga dalam keseharian telah terikat
pada kehidupan bersama baik di dalam maupun di luar sekolah. Mereka saling
merasakan apa yang dialami salah satu anggota kelompoknya dan mampu mengungkap
perasaan yang selama ini tersembunyi, seperti hubungan mereka dengan orang tua
atau dengan jenis kelamin lain serta kesulitan pribadi-pribadi lainnya.
Keanggotaan
klik bersifat sukarela dan tak formal. Seorangditerima atau ditolak atas
persetujuan bersama. Walaupun kliktidak mempunyai peraturan yang jelas, namun
ada nilai-nilai yangdijadikan dasar untuk menerima anggota baru.Anggota klik
merasa diri bersatu dan merasa diri kuat, penuhdengan kepercayaan berkat rasa
persatuan dan kekompakan.
Mereka
mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan individual dan sikap ini
dapat menimbulkan konflikdengan orang tua, sekolah, dan klik-klik lainnya. Bila
klik inimempunyai sikap anti sosial maka klik itu dapat menjadi “geng”.Orang
luar, khususnya orang tua dan guru sering tidak dapatmemahami makna klik bagi
anggota-anggotanya. Akibatnya mereka justru makin kompak dengan kelompoknya
sehingga memicu kesadaran bersama untuk sama-sama membebaskan diri dari
kekuasaan dan pengawasan orang tua, sekolah dan lembaga-lembaga lainnya. Dari
kelompoknya seorang anggota yakinmendapat bantuan penuh namun sebaliknya harus
mampumenunjukkan loyalitas yang tinggi pada kelompok. Mereka yangtidak patuh
akan mendapat klaim sebagai pengkhianat.
Faktor yang
paling penting dalam pembentukan klik adalahusia atau tingkat kelas. Suatu klik
jarang beranggotakan anak yangberusia dua tahun lebih. Selain itu klik biasanya
beranggotakanmurid dari jenis kelamin yang sama. Tidak ada bukti yang
menunjukkan pembentukan klik berdasarkan prestasi akademis atauintelegensi.
Menurut pengamatan suatu klik merupakan kelompok minat atau kegemaran yang
serupa, misalnya musik, olahraga dan sebagainya.
Klik juga
menggambarkan struktur sosial masyarakatnya.Klik menunjukkan stratifikasi
sosial yang terdapat dalam masyarakat tempat sekolah itu berada. Murid-murid
pada umumnyamemilih teman dari golongan anak yang secara sosial ekonomimemiliki
kedudukan sama.
Klik-klik yang
muncul di sekolah beragam wujudnya, tergantung pada perbedaan murid. Ada
kemungkinan terbentuknyakelompok berdasarkan kesukuan dari kalangan siswa satu
daerahatau karena mereka merupakan mioritas. Ada kelompok “elite”yang terdiri
atas anak-anak orang kaya atau menunjukkan prestasiakademis tinggi dan
kepribadian tinggi. Adapula kelompokrendahan, yang berasal dari keluarga tidak
berpendidikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelas dan sekolah merupakan suatu komunitas sosial yang keberadaan
status sosialnya tidak kala lengkap jika di bandingkan dengan kehidupan
bermasyarakat di luar sekolah, keberadaan status-status sosial di sekolah dan
kelas telah menjadikan suatu komunitas tersendiri yang dipenuhi oleh
aturan-aturan terikat yang membutuhkan intelejensi setiap warga komunitas itu
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
B. Saran
Makalah ini tentunya tidak terlepas dari segala kekurangan dan
kesalahan, kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya
TUGAS KELOMPOK
“KELAS DAN SEKOLAH
SEBAGAI SISTEM SOSIAL”
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikun Wr. Wb.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat
Allah Swt, Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “KELAS DAN SEKOLAH
SEBAGAI SISTEM SOSIAL”.Makalah ini membahas tentang kelas dan sekolah yang
merupakan suatu sistem sosial yang konflik yang ada di lingkungan masyarakat.
Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak
terlepas dari bantuan teman-teman mahasiswa dan dorongan dari dosen pembimbing,
untuk itu kami tak lupa mengucapkan terimah kasih yang sedalam-dalamnya semoga
amal ibadah kita diterima disisi Allah Swt.
Makalah ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapakn demi kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Wassalmu ‘Alaikum Wr. Wb.
Lamooso,
16 Maret 2012
Penulis