Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

Stress dan Pengendalian Diri



Oleh: Muhammad Khidri Alwi (Dokter, Dosen UMI Makassar)
 
DALAM alam realita, kesadaran kita tertangkap ketika mata memindahkan cahaya menuju sinyal-sinyal saraf optik menuju teks visual. Kemudian seluruh peristiwa yang tertangkap itu diolah di otak. Lain halnya jika mendengar suara. Alunan suara masuk ke dalam gendang telinga mengirim sinyal-sinyal saraf ke kortek pendengaran, bagian otak yang terletak di atas telinga dan di belakang pelipis kiri.

Sewaktu kita berbicara, sistem kontrol bekerja di daerah motorik pada bagian otak di antara telinga kiri dan alis mata. Daerah kortikal di bawah dahi bertugas menganalisa arti dan sematik kata. Begitulah otak kita mengolah semua yang tersadarkan menjadi sebuah persepsi. Ibarat sebauh adegan yang direkam oleh kamera yang ditampilkan di sebuah layar monitor semua peristiwa ada, tetapi gambar di layar monitor adalah maya.

Lalu bagaimana otak kita bisa mengelompokkan sebuah pengalaman dan realita, bahwa ini baik dan itu buruk. Ibarat komputer, otak kita mampu merekam berbagai pengalaman. Setiap kita ingin menyimpan peristiwa, cukup dimasukkan dalam file name. Mirip kamus, maka setiap entry mempunyai sejumlah makna. Kapan saja kita melihat suatu kejadian, maka tanpa diperintah langsung ke kamus besar kita dengan menampilkan kembali memori yang tersimpan.

Setiap hari banyak peristiwa yang kita saksikan, dengar, dan rasakan. Entah itu pengalaman orang atau kita sendiri pelakunya. Kita bukan hanya menyaksikan, kita juga berusaha memahaminya. Ketika melihat anak-anak SMA tawuran, mahasiswa berkelahi, kita bertanya mengapa hal itu terjadi. Ketika kita menonton anak-anak muslim harapan bangsa dan agama menjadi teroris dan di kepala mereka bunuh diri dan membunuh orang tidak sepaham adalah jihad, kita bingung, apa begitu yang diajarkan agama.

Ketika orang-orang pintar dan berpendidikan menjadi pencuri dengan gelar koruptor, padahal mereka adalah orang berduit. Apa mereka tidak bersyukur sampai harus merampok. Tidak kalah serunya ketika para pemuja tubuh yang melahirkan manusia hedonisme, mereka adalah hamba-hamba yang terhempas dari fase industrialis ke fase konsolidasi fundamentalis yang melahirkan generasi peruntuh moral dan etika luhur. Kita jadi bingung melihat kehidupan mereka.

Apa yang melanda mereka adalah bagian dari persepsi untuk membenarkan tindakan berdasarkan image yang mereka bangun dengan penuh kesadaran. Kesadaran yang mereka bangun adalah bagian dari model kehidupan yang penuh dengan tekanan. Psikolog dan psikiater sering mengidentifikasi bahwa semua itu adalah bentuk dan gejala dari stres yang berlebihan. Stres sudah hampir melanda semua level kehidupan. lelaki, perempuan, tua, muda, terpelajar, bodoh, orang kota-kampung, pejabat, bawahan, ulama, awam. Semua bias stres. Begitu beragamnya perilaku stres sehingga para ahli pun tidak dapat merumuskan definisi stres.

Stres, dari Normal ke Patologis

Dalam kehidupan kita yang normal stres selalu menyertai. Pada ambang normal, stres bisa menjadi pemicu untuk memotivasi kita untuk maju, Stres yang baik dan dikelola dengan kemampuan pengendalian diri yang baik akan membuat orang untuk berimprovisasi, memacu adrenalin untuk berkreasi, bahkan mampu mengembangkan kepribadian yang tangguh dan mandiri.

Stres menjadi masalah ketika manajemen kepribadian kita tidak mampu dikendalikan. Inilah yang disebut over stress atau stres yang sudah patologis. Melahirkan ekses yang buruk dan menimbulkan gangguan baik secara fisik maupun psikis dan rohani.

Perilaku yang disebut stres patologis bisa bermacam-macam, tetapi ciri utamanya sama. Orang yang stres mengalami intensitas emosi yang tinggi dan biasanya menyiksa; mudah tersinggung, berang, gelisah, jengkel, rasa tertekan. Mereka kehilangan rasa tenteram. Secara patologis stres yang tidak bisa dikendalikan akan memengaruhi jasmani dengan munculnya manifestasi klinis yang ditandai tekanan darah meningkat, denyut nadi dan kontraksi jantung melibihi ambang normal. Telapak tangan biasanya berkeringat disertai otot-otot menegang. Gejala ini sering disebut general adaptation syndrome.

Dalam catatan Comenan dan Hammen  bentuk stres sering berkutat di sekitar masalah konflik, frustrasi dan masalah kejiwaan. Ketiga masalah inilah yang banyak dipertontonkan dalam realitas kehidupan, dan dikemas dalam media yang tiap hari disaksikan. Tingginya kasus bunuh diri dimulai dari stres yang tidak bisa dikendalikan.

Berbagai problem kehidupan keluarga sampai masalah sosial seperti kemiskinan, PHK, penyakit kronis dan tuntunan materi yang tidak terpenuhi meledak menjadi masalah kejiwaan yang berakhir dengan bunuh diri. Tawuran pelajar, mahasiswa, dan warga melahirkan permusuhan yang berakhir dengan jatuhnya korban tanpa menemukan akar masalahnya.

Semua bentuk permusuhan ini melahirkan konflik yang sering berulang. Kegagalan dalam hidup dan merasa kesepian di tengah kehidupan modern, diputuskan pacar, gagal dalam karier melahirkan sikap apatis, skeptis dan frustrasi dalam memandang hidup. Semuanya bermula dari stres yang tidak terkendali (pathology stress)

Stres patologis dimulai dari muara ketika apa yang diinginkan lebih sedikit dari apa yang diimpikan. Ketidakmamuan memenej kehidupan dan mengatur fungsi stres yang sebenarnya akan melahirkan konflik, frustrasi dan tekanan jiwa. Berbagai kasus yang menjadi tontonan setip hari dalam dunia informasi adalah manifestasi dari ketimpangan hidup dengan mementingkan life style dibanding realita yang dialaminya. Kasus korupsi yang tidak surut dari tingkat pemerintahan yang kere sampai di tingkat elite pemerintahan dan anggota dewan yang terhormat melakukannya adalah contoh paling konkret dari realitas hidup yang tidak pernah merasa cukup.

Pengendalian Diri; Cegah Stres

Solusi stres patologis dimulai dari memperbaiki kembali life style kita. Tekanan hidup yang melahirkan stres patologis   harus ditinjau ke tujuan hidup yang sesungguhnya. Kembali ke fitrah  ketuhanan yang melahirkan sikap kasih sayang, kedamaian dan qana’ah, merasa cukup terhadap apa yang didapat dari hasil usaha yang disertai dengan doa. Realitas hidup yang dimaknai dengan kesadaran akan fungsi sebagai manusia yang dimuliakan baik terhadap dirinya maupun dari lingkungannya adalah sebuah penghargaan yang harus dijaga baik.

Peran keluarga sebagai pilar pertama dalam menyadarkan akan fungsi dan tanggung jawab harus dimaknai sebagai bentuk kasih sayang dan dijaga keutuhannya. Membuang hal-hal yang tidak realistis dan menjauhkan keinginan-keinginan yang tidak diinginkan adalah resep manjuhkan diri dari stres patologis.